MAKALAH
MEMBUMIKAN ISLAM DI INDONESIA
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“PENDIDIKAN AGAMA“
Disusun Oleh:
Kelompok: 4
Ø
M KALIYUBI
Ø
MAIL
Ø
AJIS
UNIVESITAS BANTEN JAYA
LABUAN
FAKULTAS ILMU KOMPUTER
PRODI SISTEM INFORMASI
TAHUN AKADEMIK
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah
Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan
karya ilmiah tentang "Membumikan Islam Di Indonesia".
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah turut memberikan kontribusi dalam
penyusunan karya ilmiah ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat
dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa
masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian
dalam karya ilmiah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran
dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki karya ilmiah ini.
Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami
susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.
Labuan,
20 Desember 2023
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
A. Latar
Belakang.............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................ 2
A. Mengetahui
transformasi wahyu dan implikasinya terhadap corak
keberagaman ................................................................................................ 2
B. Mengetahui alasan perbedaan ekspresi dan praktik
keberagamaan.............. 6
C. Bagaimana membangun
argumen tentang urgensi
pribumisasi Islam........... 9
BAB III PENUTUP............................................................................................... 10
A.
Kesimpulan.................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam dalam bentuk dasarnya adalah wahyu Allah yang
merupakan sesuatu yang nirbahasa. Wahyu dalam bentuk asalnya ditempatkan dalam sebuah blueprint yang disebut dengan lauh al
Mahfuz, dari sana ia memancarkan dirinya
melalui tanda-tanda (āyāt) yang terdapat dalam seluruh ciptaan Allah. Tanda-tanda Tuhan tersebut sejatinya telah
terinstal dalam diri setiap makhluk ciptaan-Nya. Dengan
bahasa sederhana dapat dikatakan bahwa fenomena alam, fenomena
sosial, dan fenomena budaya tentunya merupakan sebagian dari tanda-tanda Tuhan tersebut. Apabila alam
yang terbentang dan realitas sejarah sosial-budaya umat manusia di atas bumi ini adalah tanda-tanda Tuhan, apakah manusia
bisa mempersepsi tanda-tanda tersebut
secara sama?
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana transformasi wahyu dan implikasinya terhadap corak keberagaman?
2.
Apa alasan perbedaan ekspresi dan praktik
keberagamaan?
3.
Bagaimana membangun
argumen tentang urgensi
pribumisasi Islam?
C. Tujuan
1. Mengetahui transformasi wahyu dan implikasinya terhadap corak keberagaman
2. Mengetahui alasan
perbedaan ekspresi dan praktik keberagamaan
3. Mengetahui tentang membangun argumen tentang
urgensi pribumisasi Islam
BAB II
PEMBAHASAAN
A. Menelusuri
Transformasi Wahyu dan Implikasinya terhadap Corak Keberagaman
Dalam ajaran Islam, wahyu Allah selain berbentuk
tanda-tanda (āyāt) yang nirbahasa,
juga bermanifestasi dalam bentuk tanda-tanda (āyāt) yang difirmankan. Untuk memudahkan pemahaman, kita bedakan
antara istilah wahyu (dengan “ w” kecil)
dan Wahyu (dengan “ W” besar). Wahyu dengan w kecil menyaran pada tanda-tanda, instruksi, arahan, nasihat,
pelajaran, dan ketentuan
Tuhan yang nirbahasa, dan mewujud dalam alam semesta
dan isinya, termasuk dinamika sosial budaya yang terjadi di dalamnya.
Adapun
Wahyu dengan W besar menyaran pada tanda-tanda, instruksi, arahan, nasihat, pelajaran, dan ketentuan Tuhan
yang difirmankan melalui utusan-Nya (malaikat) dan diakses secara
khusus oleh orang-orang pilihan yang disebut
sebagai nabi atau rasul
(meskipun kedua istilah ini sebenarnya berbeda, namun sementara ini dianggap
sama).
Tanda-tanda
Tuhan di alam semesta ini ada yang dipahami secara sama, pada sembarang
waktu dan tempat.
Sebaliknya, tanda-tanda Tuhan
ada pula yang dibaca dan dipahami secara
berbeda karena perbedaan kadar kemampuan jiwa, nalar, rasa,
dan fisik. Adapun tanda-tanda yang dibaca secara berbeda-beda sesuai
dengan perkembangan kemampuan nalar manusia, disebut dengan āyāt-āyāt
mutasyābihāt. Para nabi dan rasul
merupakan orang-orang pilihan karena mereka telah dikaruniai bakat kecerdasan paripurna sehingga
dapat men-download ayat-ayat Tuhan yang diupload
di alam ini dan mem-breackdown-nya menjadi sebuah pelajaran, nasihat, ketentuan, instruksi, dan informasi dari Tuhan yang berbentuk bahasa.
Ketika masih dalam
bentuknya yang asli berupa alam yang terbentang, wahyu belum diidentifikasi sebagai shuḫuf ūla (kitab Ibrahim), Taurat (kitab Musa),
Zabur (kitab Dawud), Injil (kitab Isa), atau Al
Quran. Wahyu dengan w kecil sebagai ayat-yang
terbentang baru diidentifikasi sebagai sebutan manakala ia telah
diperspesi oleh para nabi dan rasul. Ketika ia dipersepsi oleh nabi berkebangsaan Yahudi, maka muncullah Taurat yang
berbahasa Ibrani. Ketika ia
dipersepsi oleh nabi yang berkebangsaan Arab maka muncullah Al Quran yang berbahasa Arab.
Wahyu (dengan W
besar) difirmankan untuk menjawab beberapa permasalahan yang tidak ditemukan
jawabannya dalam tanda-tanda Tuhan yang terbentang, untuk memotivasi
manusia agar makin detil dalam membaca dan memahami alam yang terbentang, sehingga ia bisa memperoleh makna dari setiap fenomena yang dialaminya.
Apabila manusia
diberi kesempatan untuk membaca dan memahami alam dengan segenap potensi nalar, rasa, dan jiwa yang dimilikinya, ia akan
membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai
jawaban final. Namun berkat Wahyu, proses yang panjang
dan berliku tersebut dapat disingkat sedemikian rupa sehingga manusia tidak perlu
bersusah payah untuk mendapatkan jawaban final kehidupan.
Faktor sosial-budaya dan bakat intelektual yang dimiliki oleh masing-masing
nabi membuat Wahyu pun terfirman
dengan teknik dan konten yang berbeda. Wahyu
Allah yang terbentang dalam alam geografis
dan sosial-budaya Arab, akan ditangkap oleh nabi berkebangsaan Arab dan
dibesarkan dalam tradisi intelektual Arab,
otomatis akan menjadi Wahyu yang berbahasa Arab lengkap dengan kultur Arab pada masa wahyu
difirmankan. Wahyu Allah (dengan w kecil) pada mulanya bersifat universal dan
a-historis. Sebagai tanda-tanda Tuhan
yang terbentang, keberadaan wahyu melintasi zaman dan ruang. Namun ketika wahyu tersebut di download menjadi wahyu
terfirman, maka ia berubah menjadi
wahyu yang historis (menyejarah).
Hal itu dikarenakan substansinya yang universal, kini harus diwadahi dalam lokalitas
ekspresi. Begitu wahyu Allah (dengan
w kecil) berubah menjadi wahyu terfirman (selanjutnya disebut Firman saja), maka ia terikat dalam ruang ekspresi yang
dibatasi oleh letak geografis dan
ruang waktu. Ini merupakan babak awal terjadinya perbedaan corak pemahaman agama. Dalam nalar Islam, wahyu
yang terbentang diakses dan di download oleh Nabi Muhammad dengan bakat intelektual yang luar biasa dan karunia
Allah melalui Malaikat Jibril. Wahyu
terfirman itu lalu disebut Al Quran. Mulanya, Al Quran sebagai wahyu
terfirman disampaikan secara lisan, sesuai dengan tuntutan konteks situasional waktu diturunkan. Ada tiga situasi
yang mendorong terjadinya peristiwa pewahyuan secara lisan, yaitu adanya pertanyaan tentang sebuah masalah,
problematika sosial-budaya yang harus dicarikan solusinya, dan misi
kenabian untuk merombak budaya suatu
umat.
Implikasinya,
sebagai wacana lisan, Al Quran seringkali menggunakan ragam ungkapan dan ekspresi kebahasaan yang mengedepankan keterbukaan dan pemaknaan yang
dinamis, selama ia tidak menyimpang dari konteks komunikasi tersebut. Pemaknaan tersebut muncul dalam
bentuk respon langsung berupa sikap yang
dilakukan audiens kala itu. Fokus pada respon merupakan salah satu ciri komunikasi
lisan, ketika terjadi tindak saling merespon antara komunikator (dalam hal ini
nabi) dan komunikan (audiens Al Quran). Keterbukaan dalam pembacaan Al
Quran diartikan sebagai pemaknaan Al Quran yang hidup,
progresif, mengalir sesuai dengan konteks
situasional bangsa Arab kala itu. Bagi nabi ketika itu, Al Quran
adalah pedoman gerak dan bersikap sehingga begitu mendengar
wacana lisan Al Quran umat manusia dapat langsung memfungsionalisasikan Al Quran dalam
realita kehidupan mereka. Implikasinya, nabi
banyak menoleransi pelbagai model pembacaan Al
Quran asalkan masih sejalan dengan tujuan agama yaitu untuk
menyucikan jiwa agar manusia dapat tunduk dan patuh kepada Tuhan.
Al Quran, dengan demikian, tidak bisa dipahami sebagai mushaf belaka. Membaca mushaf
tanpa membaca konteks
belum berarti membaca
seluruh Al Quran, melainkan
baru membaca setengah Al Quran. Itulah sebabnya, ulama belakangan merumuskan sejumlah piranti yang harus
dikuasai oleh para pembelajar Al Quran agar dapat kembali menghidupkan Al Quran
dalam keseharian mereka. Problematika lain yang muncul dengan adanya kodifikasi Al Quran menjadi
mushaf adalah hal yang disebut
dengan pemihakan ayat. Artinya perbedaan
corak pemahaman dan orientasi
keberagaman umat menjadi bervariasi akibat pemihakan mereka terhadap beberapa doktrin yang ditemukan dalam
ayat-ayat tertentu, tanpa memberikan
porsi yang cukup untuk menyikapi ayat-ayat lainnya yang memiliki aksentuasi yang berbeda. Perbedaan
Qadariyah dan Jabariyah, misalnya, merupakan contoh yang pas untuk
menggambarkan adanya pemihakan berlebihan terhadap doktrin pada ayat-ayat tertentu.
Dalam tradisi muktazilah, bahkan dikatakan
apabila ditemukan ayat-ayat yang tidak sejalan dengan ayat- ayat utama yang mereka jadikan
rujukan, maka dilakukan
mekanisme pemalingan makna yang disebut
dengan takwil.
Pelbagai model
pembacaan Al Quran dilakukan dengan mengacu pada tiga aspek utama, yaitu teks Al Quran sebagai sebuah
(a)kesatuan tema, (b) konteks historis yaitu konteks
situasional yang melingkupi peristiwa pewahyuan, peristiwa
penafsiran masa nabi, dan masa-masa
generasi sebelumnya sebagai
sumber inspirasi penafsiran,
dan (c) konteks pembacaan, yaitu situasi pada saat Al Quran dibaca dan ditafsirkan kembali oleh seorang
penafsir dengan mengacu
pada pelbagai pendekatan dan problematika kehidupan kontemporer. Seperti halnya Al Quran, pembacaan
sunah menjadi sedikit bermasalah ketika sunah
tersebut dikodifikasikan menjadi sebuah hadis (secara bahasa Al Hadīts bermakna berita‟atau sesuatu yang baru‟).
Sunah, yang tadinya hidup dengan pelbagai
konteks yang melingkupinya, ketika berubah menjadi rekaman informasi menjadi
kehilangan suasana komunikasi
sabda yang melingkupinya.
Belum lagi
perdebatan diantara para ulama tentang validitas hadis sebagai wahana informasi sunah. Sebagian ulama karena latar belakang keilmuan,
ideologi, orientasi politik,
dan situasi kondisi tertentu menganggap sebuah hadis tidak valid, lemah,
bahkan palsu. Sebaliknya, sekelompok ulama lain yang berasal
dari kelompok yang berbeda,
bisa jadi, menghukumi hadis tersebut sebagai valid dan kuat. Perbedaan pembacaan terhadap mushaf Al Quran dan Al Hadīts
berdampak pada perbedaan pemahaman
dan pengamalan pada aspek teologis, fikih, dan lain-lain. Mengacu pada pembagian nalar Arab oleh
Abid Al Jabiri dalam Binyah al ‘Aql al ‘Araby, paling tidak dapat diketahui tiga epsitemologi pemahaman
agama (epistemologi ber-Islam), yaitu Burhānī, Bay ānī,
dan ‘Irf ānī.
Dalam hal penetapan
hukum amaliah dan muamalah pun epsitemologi yang dipergunakan
ulama berbeda-beda sehingga melahirkan ketentuan hukum yang berbeda pula. Perbedaan epsitemologis
dalam penetapan hukum menurut Abdul Fatah Al Bayanunī dalam Dir āsāt fī al-Ikhtilāfāt al ‘Ilmiyah bermula
dari beberapa hal
diantaranya: 1) perbedaan mengenai kaidah-kaidah ushūl, 2) perbedaan dalam memahami dalil, 3) perbedaan dalam
menyikapi dalil yang bertentangan, dan 4) perbedaan dalam menetapkan sumber hukum. Perbedaan epistemologi beragama di atas berimplikasi pada perbedaan ekspresi
dan praktik beragama dalam
sebuah komunitas. Hal itu ditambah dengan perbedaan konteks sosial-budaya, politis,
dan geografis saat pembacaan teks-teks
agama tersebut dilakukan.
B. Menanyakan
Alasan Perbedaan Ekspresi dan Praktik Keberagamaan
Terdapat dua hal yang secara dominan
mempengaruhi dinamika dan struktursosial masyarakat, yaitu agama dan budaya
lokal. Dalam masyarakat Indonesia, dua hal tersebut
memiliki peranan penting dalam membentuk karakter dan perilaku sosial yang kemudian sering
disebut sebagai “ jatidiri ” orang Indonesia. Karakter tersebut mewarnai hampir semua aspek sosial
masyarakat Indonesia baik secara politik, ekonomi maupun sosial-budaya. Agama diyakini
memiliki nilai-nilai transenden sehingga sering dipahami sebagai suatu dogma yang kaku. Namun,
nilai-nilai budaya relatif
dipandang lebih fleksibel
sesuai kesepakatan-kesepakatan komunitas
untuk dijadikan sebagai
standar normatif. Karena adanya perbedaan karakter
agama dan budaya itulah maka sering kali nilai-nilai agama dipertentangkan dengan nilai-nilai budaya lokal yang sebenarnya telah mempengaruhi perilaku sosial seseorang. Model akulturasi budaya lokal
dengan Islam sering dianggap sebagai penyebab
munculnya karakter Islam abangan di kalangan masyarakat Jawa. Sebagian
orang bahkan menilai bahwa para Wali Songo sebagai ikon dai-dai awal Islam di Indonesia dianggap
belum berhasil sepenuhnya untuk mengislamkan Jawa. Beberapa
bukti disodorkan untuk memperkuat tesis tersebut, diantaranya paham sinkretisme yang tampak masih dominan di
kalangan masyarakat Jawa. Walaupun bagi
pihak yang mendukung metode dakwah Wali Songo di atas, praktik-praktik yang sering dituduh sebagai sinkretisme
tersebut bukan sepenuhnya amalan yang bertentangan
dengan Islam dan dapat dijelaskan
melalui perspektif mistisisme Islam. Adanya
akulturasi timbal-balik antara Islam dan budaya lokal (localgenius) dalam hukum Islam secara metodologis harus
diakui eksistensinya. Dalam kaidah ushūl fiqh kita temukan misalnya kaidah,“al
‘ādah muḫakkamah” (adat itu bisa dijadikan
hukum), atau kaidah “al ādah syar’ī‟ atun muḫkamah” (adat adalah syariat
yang dapat dijadikan hukum). Kaidah
ini memberikan justifikasi yuridis bahwa
kebiasaan suatu masyarakat bisa dijadikan dasar penetapan hukum atau pun sumber acuan
untuk bersikap. Hanya saja tidak semua adat/ tradisi bisa dijadikan
pedoman hukum karena tidak semua
unsur budaya pasti sesuai dengan ajaran Islam. Unsur budaya lokal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam akan diganti
atau disesuaikan dengan semangat tauhid.
Revivalisme
dengan gerakan purifikasinya kerap kali menjadi biang munculnya radikalisme. Radikalisme agama telah menjadi kekhawatiran bangsa karena praktik
keberagamaan tersebut merapuhkan kebhinekaan dan kedamaian. Gerakan purifikasi ini
mengingkari unsur lokalitas yang turut membentuk Islam Indonesia. Oleh karena itu, keberagamaan ini menafikan pluralisme sedemikian rupa sehingga
cenderung intoleransi, eksklusifisme,
anti keragaman (multikulturalisme) dan pada
titik kritis bisa melahirkan terorisme. Dengan demikian, ditengarai adanya dua corak utama
keberagamaan umat Islam Indonesia, yaitu sufistik tradisionalis dan revivalis fundamentalis. Kelompok pertama
sangat akomodatif terhadap perbedaan dan pengaruh luar, bahkan toleran terhadap praktik-praktik keagamaan yang
tidak sejalan dengan rasionalitas dan norma-norma
Islam sendiri. Sebaliknya, kelompok kedua lebih rasional dalam menyikapi tradisi keagamaan, namun
cenderung eksklusif dan agresif terhadap praktik-praktik yang dianggap tidak
memiliki dasar hukum
dalam ajaran Islam.
a.
Menggali
Sumber Historis, Sosiologis, Teologis, dan Filosofis tentang Pribumisasi Islam
Pribumisasi Islam
menyaran pada transformasi nilai-nilai Islam universal dalam wadah budaya, geografis, dan ruang waktu
tertentu. Melalui pribumisasi, Islam diharapkan dapat hadir
dalam dinamika kehidupan kekinian dan menjawab
pelbagai problematika sosial
budaya yang berkembang dalam sebuah ruang, waktu, dan geografis tertentu.
1.
Menggali Sumber
Historis
Istilah pribumisasi Islam diperkenalkan oleh Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) sebagai alternatif dalam upaya pencegahan praktik radikalisme agama. Penghargaan Gus Dur terhadap metamorfosis Islam Nusantara yang
menempatkan Islam secara kontekstual sebagai
bagian dari proses budaya. Pribumisasi Islam menampik bahwa praktik
keislaman " tidak selalu identik" dengan pengalaman Arab (Arabisme). Ia adaptif
dengan lokalitas. Kelahiran Nahdhatul Ulama (NU) merupakan kristalisasi
semangat pribumisasi Islam di Indonesia. Organisasi ini berdiri untuk membela praktik-praktik keberagamaan kaum Islam tradisionalis dari kritikan dan serangan agresif
paham puritanisme yang
dipengaruhi gerakan Wahabi di Saudi Arabia. NU dengan pendekatan sufistiknya mau
menerima dan mengakomodasi budaya lokal dalam
praktik keberagamaannya. Berbeda
dengan NU, organisasi Muhammadiyah dengan
pendekatan teologi Salafinya justru menganggap praktik keberagamaan yang memadukan Islam dengan budaya lokal
adalah praktik TBC (takhayul, bidah, dan churafat/khurafat).
Apabila kita tengok sejarah perkembangan Islam di Indonesia, dakwah yang dilakukan
oleh para dai yang membawa
Islam ke Indonesia
selalu mempertimbangkan kearifan
lokal (local wisdom)
yang menjadi realitas
kebudayaan dalam masyarakat Indonesia. Dakwah Wali Songo di Pulau Jawa merupakan contoh kongkret
dakwah yang sengaja
melakukan inkulturisasi Islam.
Para wali mempergunakan instrumen-instrumen kebudayaan yang ada untuk memasukkan pesan-pesan Islam.
2.
Menggali Sumber
Sosiologis
Sebelum Islam
datang, penduduk Indonesia (baca: Nusantara) telah menganut agama, baik yang masih primitif seperti
animisme-dinamisme maupun yang sudah
berbentuk agama formal seperti Hindu atau Buddha. Namun demikian, berdasarkan catatan sejarah yang ada,
kedatangan Islam tidak disertai dengan konflik
sosial keagamaan yang cukup berarti. Keberhasilan islamisasi generasi awal setidaknya disebabkan oleh dua
faktor, yaitu faktor strategi dakwah dan faktor daya tarik
ajaran Islam itu sendiri. Dilihat dari
strategi dakwah, para dai muslim berhasil melakukan pendekatan persuasif, kultural, dan politik terhadap
penduduk Indonesia. Para dai tersebut menggunakan strategi
pribumisasi sebagaimana telah disinggung di atas sehingga Islam masuk ke dalam jiwa bangsa
Indonesia secara tidak disadari. Tampaknya
para dai tersebut lebih mementingkan substansi dibanding formula atau kemasan.
Adapun yang menyangkut
materi dakwahnya, penduduk pribumi tampaknya
tertarik dengan agama baru tersebut karena beberapa hal, antara lain
prinsip egalitarian atau kesejajaran
manusia pada satu sisi, dan corak sufistik yang mewarnai Islam yang dibawa oleh para dai imigran tersebut pada
sisi yang lain. Ajaran tentang
kesamaan derajat yang dibawa Islam tentu menarik kalangan pribumi, terutama di kalangan yang selama
ini hidup dalam strata atau kasta rendah yang sering menjadi
objek eksploitasi oleh kasta di atasnya. Pada sisi lain,
corak Islam sufistik juga menarik perhatian penduduk pribumi karena
adanya titik-titik persamaan dengan
kepercayaan dan agama mereka. Itulah sebabnya,
Islam bisa diterima secara damai oleh penduduk pribumi atau setidaknya
bisa hidup berdampingan dengan agama lain selama
berabad-abad.
C.
Membangun Argumen tentang
Urgensi Pribumisasi Islam
Bangsa Indonesia
sangat memerlukan kerja kolaboratif dan koordinatif dari pelbagai
komponen untuk menggalang semua potensi bangsa agar terjadi sebuah kerjasama yang efektif dan produktif bagi
pembumian Islam yang penuh rahmat. Namun,
upaya-upaya seperti itu sering kali terhambat oleh adanya potensi-potensi konflik
yang sangat banyak di negeri ini (agama,
etnis, strata sosial,
dan sebagainya). Salah satu potensi konflik yang mungkin dapat
menghalangi proses pembangunan dan modernisasi
di Indonesia adalah pemahaman agama.
Seringkali ajaran
agama, yang bernilai universal dan tidak memihak, berubah menjadi sebuah pemahaman agama yang
bersifat sektarian dan lokal. Seringkali pula
Tuhan yang Mahaluhur dan Mahamulia diseret oleh subjektivitas manusia untuk membenarkan sikap
sektarian tersebut. Teks suci agama pun tidak luput dari tangan-tangan nakal manusia. Teks sengaja dipahami
secara lepas dari konteks
kebahasaan dan sosio-psiko-historisnya agar dapat dijadikan alat untuk mengafirkan orang lain yang berbeda pemahamannya.
Pada kondisi saat dunia mulai mengarah kepada
peradaban global dan keterbukaan, maka ajaran agama perlu kembali
dirujuk untuk ditransformasikan nilai-nilai luhurnya sehingga
dapat memunculkan sebuah pemahaman agama dan sikap keberagamaan
yang bebas dari fanatisme sektarian, stereotip radikal, dan spirit saling mengafirkan antara sesama umat
seagama, atau antara umat yang berbeda agama.
Apabila kita kembali melihat contoh rasul dengan masyarakat madaninya, maka kita dapati bahwa potensi-potensi
konflik akan dapat dielimininasi dengan mengedepankan
persamaan dalam keragaman. Artinya, Islam mengajarkan bahwa perbedaan itu adalah fitrah dari Tuhan, tetapi dalam menjalani hidup ini hendaknya kita tidak mempertajam perbedaan tersebut. Sebaliknya, justru
kita harus mencari unsur-unsur
persamaan diantara kita.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Islam
mengajarkan bahwa wahyu Allah selain berbentuk tanda-tanda (āyāt) yang nirbahasa, juga bermanifestasi dalam
bentuk tanda-tanda (āyāt) yang difirmankan.
Wahyu tersebut memancarkan dirinya melalui tanda-tanda (āyāt) yang
terdapat dalam seluruh ciptaan Allah
dan berimplikasi terhadap
corak keberagaman. Tanda-
tanda Tuhan di alam semesta
ini ada yang dipahami secara sama
dan secara berbeda-beda sesuai
dengan perkembangan kemampuan nalar manusia.
Terdapat
beberapa perbedaan dalam ekspresi dan praktik keberagamaan. Hal ini dikarenakan adanya akulturasi agama dengan
budaya lokal. Namun, diharapkan kita bisa mengeliminasi potensi-potensi konflik dengan cara mengedepankan persamaan
dalam keragaman.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar