Kamis, 18 Januari 2024

MAKALAH MEMBUMIKAN ISLAM DI INDONESIA

 

MAKALAH

MEMBUMIKAN ISLAM DI INDONESIA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah

“PENDIDIKAN AGAMA“

 

 

 

Description: C:\Users\BERKAH\Desktop\UILU.png

 

 

 

Disusun Oleh:

Kelompok: 4

 

Ø  M KALIYUBI

Ø  MAIL

Ø  AJIS

 

 

 

 

 

UNIVESITAS BANTEN JAYA LABUAN

FAKULTAS ILMU KOMPUTER

PRODI SISTEM INFORMASI

TAHUN AKADEMIK

2023

 

 

KATA PENGANTAR

 

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah tentang "Membumikan Islam Di Indonesia".

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki karya ilmiah ini.

Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.

 

 

Labuan,  20 Desember 2023

 

 

Penyusun



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Text Box: i
 


DAFTAR ISI

 

 

KATA PENGANTAR............................................................................................ i

DAFTAR ISI........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1

A.    Latar Belakang.............................................................................................. 1

B.     Rumusan Masalah......................................................................................... 1

C.     Tujuan Penulisan........................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................ 2

A.    Mengetahui transformasi wahyu dan implikasinya terhadap corak

keberagaman ................................................................................................ 2

B.     Mengetahui alasan perbedaan ekspresi dan praktik keberagamaan.............. 6

C.     Bagaimana membangun argumen tentang urgensi pribumisasi Islam........... 9

BAB III PENUTUP............................................................................................... 10

A.    Kesimpulan.................................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Text Box: iii
 


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Islam dalam bentuk dasarnya adalah wahyu Allah yang merupakan sesuatu yang nirbahasa. Wahyu dalam bentuk asalnya ditempatkan dalam sebuah blueprint yang disebut dengan lauh al Mahfuz, dari sana ia memancarkan dirinya melalui tanda-tanda (āyāt) yang terdapat dalam seluruh ciptaan Allah. Tanda-tanda Tuhan tersebut sejatinya telah terinstal dalam diri setiap makhluk ciptaan-Nya. Dengan bahasa sederhana dapat dikatakan bahwa fenomena alam, fenomena sosial, dan fenomena budaya tentunya merupakan sebagian dari tanda-tanda Tuhan tersebut. Apabila alam yang terbentang dan realitas sejarah sosial-budaya umat manusia di atas bumi ini adalah tanda-tanda Tuhan, apakah manusia bisa mempersepsi tanda-tanda tersebut secara sama?

 

B.     Rumusan Masalah

1.                 Bagaimana transformasi wahyu dan implikasinya terhadap corak keberagaman?

2.                 Apa alasan perbedaan ekspresi dan praktik keberagamaan?

3.                 Bagaimana membangun argumen tentang urgensi pribumisasi Islam?

 

C.    Tujuan

1.      Mengetahui     transformasi wahyu     dan      implikasinya    terhadap corak keberagaman

2.      Mengetahui alasan perbedaan ekspresi dan praktik keberagamaan

3.      Text Box: 1Mengetahui tentang membangun argumen tentang urgensi pribumisasi       Islam


BAB II

PEMBAHASAAN

 

A.    Menelusuri Transformasi Wahyu dan Implikasinya terhadap Corak Keberagaman

          Dalam ajaran Islam, wahyu Allah selain berbentuk tanda-tanda (āyāt) yang nirbahasa, juga bermanifestasi dalam bentuk tanda-tanda (āyāt) yang difirmankan. Untuk memudahkan pemahaman, kita bedakan antara istilah wahyu (dengan “ w” kecil) dan Wahyu (dengan “ W” besar). Wahyu dengan w kecil menyaran pada tanda-tanda, instruksi, arahan, nasihat, pelajaran, dan ketentuan Tuhan yang nirbahasa, dan mewujud dalam alam semesta dan isinya, termasuk dinamika sosial budaya yang terjadi di dalamnya.

          Adapun Wahyu dengan W besar menyaran pada tanda-tanda, instruksi, arahan, nasihat, pelajaran, dan ketentuan Tuhan yang difirmankan melalui utusan-Nya (malaikat) dan diakses secara khusus oleh orang-orang pilihan yang disebut sebagai nabi atau rasul (meskipun kedua istilah ini sebenarnya berbeda, namun sementara ini dianggap sama).

          Tanda-tanda Tuhan di alam semesta ini ada yang dipahami secara sama, pada sembarang waktu dan tempat. Sebaliknya, tanda-tanda Tuhan ada pula yang dibaca dan dipahami secara berbeda karena perbedaan kadar kemampuan jiwa, nalar, rasa, dan fisik. Adapun tanda-tanda yang dibaca secara berbeda-beda sesuai dengan perkembangan kemampuan nalar manusia, disebut dengan āyāt-āyāt mutasyābihāt. Para nabi dan rasul merupakan orang-orang pilihan karena mereka telah dikaruniai bakat kecerdasan paripurna sehingga dapat men-download ayat-ayat Tuhan yang diupload di alam ini dan mem-breackdown-nya menjadi sebuah pelajaran, nasihat, ketentuan, instruksi, dan informasi dari Tuhan yang berbentuk bahasa. Ketika masih dalam bentuknya yang asli berupa alam yang terbentang, wahyu belum diidentifikasi sebagai shuḫuf ūla (kitab Ibrahim), Taurat (kitab Musa), Zabur (kitab Dawud), Injil (kitab Isa), atau Al Quran. Wahyu dengan w kecil sebagai ayat-yang terbentang baru diidentifikasi sebagai sebutan manakala ia telah diperspesi oleh para nabi dan rasul. Ketika ia dipersepsi oleh nabi berkebangsaan Yahudi, maka muncullah Taurat yang berbahasa Ibrani. Ketika ia dipersepsi oleh nabi yang berkebangsaan Arab maka muncullah Al Quran yang berbahasa Arab.


  Wahyu (dengan W besar) difirmankan untuk menjawab beberapa permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya dalam tanda-tanda Tuhan yang terbentang, untuk memotivasi manusia agar makin detil dalam membaca dan memahami alam yang terbentang, sehingga ia bisa memperoleh makna dari setiap fenomena yang dialaminya.

    Apabila manusia diberi kesempatan untuk membaca dan memahami alam dengan segenap potensi nalar, rasa, dan jiwa yang dimilikinya, ia akan membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai jawaban final. Namun berkat Wahyu, proses yang panjang dan berliku tersebut dapat disingkat sedemikian rupa sehingga manusia tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan jawaban final kehidupan. Faktor sosial-budaya dan bakat intelektual yang dimiliki oleh masing-masing nabi membuat Wahyu pun terfirman dengan teknik dan konten yang berbeda. Wahyu Allah yang terbentang dalam alam geografis dan sosial-budaya Arab, akan ditangkap oleh nabi berkebangsaan Arab dan dibesarkan dalam tradisi intelektual Arab, otomatis akan menjadi Wahyu yang berbahasa Arab lengkap dengan kultur Arab pada masa wahyu difirmankan. Wahyu Allah (dengan w kecil) pada mulanya bersifat universal dan a-historis. Sebagai tanda-tanda Tuhan yang terbentang, keberadaan wahyu melintasi zaman dan ruang. Namun ketika wahyu tersebut di download menjadi wahyu terfirman, maka ia berubah menjadi wahyu yang historis (menyejarah).

    Hal itu dikarenakan substansinya yang universal, kini harus diwadahi dalam lokalitas ekspresi. Begitu wahyu Allah (dengan w kecil) berubah menjadi wahyu terfirman (selanjutnya disebut Firman saja), maka ia terikat dalam ruang ekspresi yang dibatasi oleh letak geografis dan ruang waktu. Ini merupakan babak awal terjadinya perbedaan corak pemahaman agama. Dalam nalar Islam, wahyu yang terbentang diakses dan di download oleh Nabi Muhammad dengan bakat intelektual yang luar biasa dan karunia Allah melalui Malaikat Jibril. Wahyu terfirman itu lalu disebut Al Quran. Mulanya, Al Quran sebagai wahyu terfirman disampaikan secara lisan, sesuai dengan tuntutan konteks situasional waktu diturunkan. Ada tiga situasi yang mendorong terjadinya peristiwa pewahyuan secara lisan, yaitu adanya pertanyaan tentang sebuah masalah, problematika sosial-budaya yang harus dicarikan solusinya, dan misi kenabian untuk merombak budaya suatu umat.

 


  Implikasinya, sebagai wacana lisan, Al Quran seringkali menggunakan ragam ungkapan dan ekspresi kebahasaan yang mengedepankan keterbukaan dan pemaknaan yang dinamis, selama ia tidak menyimpang dari konteks komunikasi tersebut. Pemaknaan tersebut muncul dalam bentuk respon langsung berupa sikap yang dilakukan audiens kala itu. Fokus pada respon merupakan salah satu ciri komunikasi lisan, ketika terjadi tindak saling merespon antara komunikator (dalam hal ini nabi) dan komunikan (audiens Al Quran). Keterbukaan dalam pembacaan Al Quran diartikan sebagai pemaknaan Al Quran yang hidup, progresif, mengalir sesuai dengan konteks situasional bangsa Arab kala itu. Bagi nabi ketika itu, Al Quran adalah pedoman gerak dan bersikap sehingga begitu mendengar wacana lisan Al Quran umat manusia dapat langsung memfungsionalisasikan Al Quran dalam realita kehidupan mereka. Implikasinya, nabi banyak menoleransi pelbagai model pembacaan Al Quran asalkan masih sejalan dengan tujuan agama yaitu untuk menyucikan jiwa agar manusia dapat tunduk dan patuh kepada Tuhan.

   Al Quran, dengan demikian, tidak bisa dipahami sebagai mushaf belaka. Membaca mushaf tanpa membaca konteks belum berarti membaca seluruh Al Quran, melainkan baru membaca setengah Al Quran. Itulah sebabnya, ulama belakangan merumuskan sejumlah piranti yang harus dikuasai oleh para pembelajar Al Quran agar dapat kembali menghidupkan Al Quran dalam keseharian mereka. Problematika lain yang muncul dengan adanya kodifikasi Al Quran menjadi mushaf adalah hal yang disebut dengan pemihakan ayat. Artinya perbedaan corak pemahaman dan orientasi keberagaman umat menjadi bervariasi akibat pemihakan mereka terhadap beberapa doktrin yang ditemukan dalam ayat-ayat tertentu, tanpa memberikan porsi yang cukup untuk menyikapi ayat-ayat lainnya yang memiliki aksentuasi yang berbeda. Perbedaan Qadariyah dan Jabariyah, misalnya, merupakan contoh yang pas untuk menggambarkan adanya pemihakan berlebihan terhadap doktrin pada ayat-ayat tertentu. Dalam tradisi muktazilah, bahkan dikatakan apabila ditemukan ayat-ayat yang tidak sejalan dengan ayat- ayat utama yang mereka jadikan rujukan, maka dilakukan mekanisme pemalingan makna yang disebut dengan takwil.


  Pelbagai model pembacaan Al Quran dilakukan dengan mengacu pada tiga aspek utama, yaitu teks Al Quran sebagai sebuah (a)kesatuan tema, (b) konteks historis yaitu konteks situasional yang melingkupi peristiwa pewahyuan, peristiwa penafsiran masa nabi, dan masa-masa generasi sebelumnya sebagai sumber inspirasi penafsiran, dan (c) konteks pembacaan, yaitu situasi pada saat Al Quran dibaca dan ditafsirkan kembali oleh seorang penafsir dengan mengacu pada pelbagai pendekatan dan problematika kehidupan kontemporer. Seperti halnya Al Quran, pembacaan sunah menjadi sedikit bermasalah ketika sunah tersebut dikodifikasikan menjadi sebuah hadis (secara bahasa Al Hadīts bermakna berita‟atau sesuatu yang baru‟). Sunah, yang tadinya hidup dengan pelbagai konteks yang melingkupinya, ketika berubah menjadi rekaman informasi menjadi kehilangan suasana komunikasi sabda yang melingkupinya.

   Belum lagi perdebatan diantara para ulama tentang validitas hadis sebagai wahana informasi sunah. Sebagian ulama karena latar belakang keilmuan, ideologi, orientasi politik, dan situasi kondisi tertentu menganggap sebuah hadis tidak valid, lemah, bahkan palsu. Sebaliknya, sekelompok ulama lain yang berasal dari kelompok yang berbeda, bisa jadi, menghukumi hadis tersebut sebagai valid dan kuat. Perbedaan pembacaan terhadap mushaf Al Quran dan Al Hadīts berdampak pada perbedaan pemahaman dan pengamalan pada aspek teologis, fikih, dan lain-lain. Mengacu pada pembagian nalar Arab oleh Abid Al Jabiri dalam Binyah al ‘Aql al ‘Araby, paling tidak dapat diketahui tiga epsitemologi pemahaman agama (epistemologi ber-Islam), yaitu Burhānī, Bay ānī, dan ‘Irf ānī.

Dalam hal penetapan hukum amaliah dan muamalah pun epsitemologi yang dipergunakan ulama berbeda-beda sehingga melahirkan ketentuan hukum yang berbeda pula. Perbedaan epsitemologis dalam penetapan hukum menurut Abdul Fatah Al Bayanunī dalam Dir āsāt al-Ikhtilāfāt al ‘Ilmiyah bermula dari beberapa hal diantaranya: 1) perbedaan mengenai kaidah-kaidah ushūl, 2) perbedaan dalam memahami dalil, 3) perbedaan dalam menyikapi dalil yang bertentangan, dan 4) perbedaan dalam menetapkan sumber hukum. Perbedaan epistemologi beragama di atas berimplikasi pada perbedaan ekspresi dan praktik beragama dalam sebuah komunitas. Hal itu ditambah dengan perbedaan konteks sosial-budaya, politis, dan geografis saat pembacaan teks-teks agama tersebut dilakukan.


B.     Menanyakan Alasan Perbedaan Ekspresi dan Praktik Keberagamaan

          Terdapat dua hal yang secara dominan mempengaruhi dinamika dan struktursosial masyarakat, yaitu agama dan budaya lokal. Dalam masyarakat Indonesia, dua hal tersebut memiliki peranan penting dalam membentuk karakter dan perilaku sosial yang kemudian sering disebut sebagai jatidiri orang Indonesia. Karakter tersebut mewarnai hampir semua aspek sosial masyarakat Indonesia baik secara politik, ekonomi maupun sosial-budaya. Agama diyakini memiliki nilai-nilai transenden sehingga sering dipahami sebagai suatu dogma yang kaku. Namun, nilai-nilai budaya relatif dipandang lebih fleksibel sesuai kesepakatan-kesepakatan komunitas untuk dijadikan sebagai standar normatif. Karena adanya perbedaan karakter agama dan budaya itulah maka sering kali nilai-nilai agama dipertentangkan dengan nilai-nilai budaya lokal yang sebenarnya telah mempengaruhi perilaku sosial seseorang. Model akulturasi budaya lokal dengan Islam sering dianggap sebagai penyebab munculnya karakter Islam abangan di kalangan masyarakat Jawa. Sebagian orang bahkan menilai bahwa para Wali Songo sebagai ikon dai-dai awal Islam di Indonesia dianggap belum berhasil sepenuhnya untuk mengislamkan Jawa. Beberapa bukti disodorkan untuk memperkuat tesis tersebut, diantaranya paham sinkretisme yang tampak masih dominan di kalangan masyarakat Jawa. Walaupun bagi pihak yang mendukung metode dakwah Wali Songo di atas, praktik-praktik yang sering dituduh sebagai sinkretisme tersebut bukan sepenuhnya amalan yang bertentangan dengan Islam dan dapat dijelaskan melalui perspektif mistisisme Islam. Adanya akulturasi timbal-balik antara Islam dan budaya lokal (localgenius) dalam hukum Islam secara metodologis harus diakui eksistensinya. Dalam kaidah ushūl fiqh kita temukan misalnya kaidah,“al ‘ādah muḫakkamah” (adat itu bisa dijadikan hukum), atau kaidah “al ādah syar’ī‟ atun muḫkamah” (adat adalah syariat yang dapat dijadikan hukum). Kaidah ini memberikan justifikasi yuridis bahwa kebiasaan suatu masyarakat bisa dijadikan dasar penetapan hukum atau pun sumber acuan untuk bersikap. Hanya saja tidak semua adat/ tradisi bisa dijadikan pedoman hukum karena tidak semua unsur budaya pasti sesuai dengan ajaran Islam. Unsur budaya lokal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam akan diganti atau disesuaikan dengan semangat tauhid.

          Revivalisme dengan gerakan purifikasinya kerap kali menjadi biang munculnya radikalisme. Radikalisme agama telah menjadi kekhawatiran bangsa karena praktik keberagamaan tersebut merapuhkan kebhinekaan dan kedamaian. Gerakan purifikasi ini mengingkari unsur lokalitas yang turut membentuk Islam Indonesia. Oleh karena itu, keberagamaan ini menafikan pluralisme sedemikian rupa sehingga cenderung intoleransi, eksklusifisme, anti keragaman (multikulturalisme) dan pada titik kritis bisa melahirkan terorisme. Dengan demikian, ditengarai adanya dua corak utama keberagamaan umat Islam Indonesia, yaitu sufistik tradisionalis dan revivalis fundamentalis. Kelompok pertama sangat akomodatif terhadap perbedaan dan pengaruh luar, bahkan toleran terhadap praktik-praktik keagamaan yang tidak sejalan dengan rasionalitas dan norma-norma Islam sendiri. Sebaliknya, kelompok kedua lebih rasional dalam menyikapi tradisi keagamaan, namun cenderung eksklusif dan agresif terhadap praktik-praktik yang dianggap tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran Islam.

a.      Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Teologis, dan Filosofis tentang Pribumisasi Islam

Pribumisasi Islam menyaran pada transformasi nilai-nilai Islam universal dalam wadah budaya, geografis, dan ruang waktu tertentu. Melalui pribumisasi, Islam diharapkan dapat hadir dalam dinamika kehidupan kekinian dan menjawab pelbagai problematika sosial budaya yang berkembang dalam sebuah ruang, waktu, dan geografis tertentu.

1.        Menggali Sumber Historis

Istilah pribumisasi Islam diperkenalkan oleh Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) sebagai alternatif dalam upaya pencegahan praktik radikalisme agama.  Penghargaan        Gus      Dur      terhadap      metamorfosis   Islam Nusantara          yang menempatkan Islam secara kontekstual sebagai bagian dari proses budaya. Pribumisasi Islam menampik bahwa praktik keislaman " tidak selalu identik" dengan pengalaman Arab (Arabisme). Ia adaptif dengan lokalitas. Kelahiran Nahdhatul Ulama (NU) merupakan kristalisasi semangat pribumisasi Islam di Indonesia. Organisasi ini berdiri untuk membela praktik-praktik keberagamaan kaum Islam tradisionalis dari kritikan dan serangan agresif paham puritanisme yang dipengaruhi gerakan Wahabi di Saudi Arabia. NU dengan pendekatan sufistiknya mau menerima dan mengakomodasi budaya lokal dalam praktik keberagamaannya. Berbeda dengan NU, organisasi Muhammadiyah dengan pendekatan teologi Salafinya justru menganggap praktik keberagamaan yang memadukan Islam dengan budaya lokal adalah praktik TBC (takhayul, bidah, dan churafat/khurafat). Apabila kita tengok sejarah perkembangan Islam di Indonesia, dakwah yang dilakukan oleh para dai yang membawa Islam ke Indonesia selalu mempertimbangkan kearifan lokal (local wisdom) yang menjadi realitas kebudayaan dalam masyarakat Indonesia. Dakwah Wali Songo di Pulau Jawa merupakan contoh kongkret dakwah yang sengaja melakukan inkulturisasi Islam. Para wali mempergunakan instrumen-instrumen kebudayaan yang ada untuk memasukkan pesan-pesan Islam.

2.        Menggali Sumber Sosiologis

    Sebelum Islam datang, penduduk Indonesia (baca: Nusantara) telah menganut agama, baik yang masih primitif seperti animisme-dinamisme maupun yang sudah berbentuk agama formal seperti Hindu atau Buddha. Namun demikian, berdasarkan catatan sejarah yang ada, kedatangan Islam tidak disertai dengan konflik sosial keagamaan yang cukup berarti. Keberhasilan islamisasi generasi awal setidaknya disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor strategi dakwah dan faktor daya tarik ajaran Islam itu sendiri. Dilihat dari strategi dakwah, para dai muslim berhasil melakukan pendekatan persuasif, kultural, dan politik terhadap penduduk Indonesia. Para dai tersebut menggunakan strategi pribumisasi sebagaimana telah disinggung di atas sehingga Islam masuk ke dalam jiwa bangsa Indonesia secara tidak disadari. Tampaknya para dai tersebut lebih mementingkan substansi dibanding formula atau kemasan.

    Adapun yang menyangkut materi dakwahnya, penduduk pribumi tampaknya tertarik dengan agama baru tersebut karena beberapa hal, antara lain prinsip egalitarian atau kesejajaran manusia pada satu sisi, dan corak sufistik yang mewarnai Islam yang dibawa oleh para dai imigran tersebut pada sisi yang lain. Ajaran tentang kesamaan derajat yang dibawa Islam tentu menarik kalangan pribumi, terutama di kalangan yang selama ini hidup dalam strata atau kasta rendah yang sering menjadi objek eksploitasi oleh kasta di atasnya. Pada sisi lain, corak Islam sufistik juga menarik perhatian penduduk pribumi karena adanya titik-titik persamaan dengan kepercayaan dan agama mereka. Itulah sebabnya, Islam bisa diterima secara damai oleh penduduk pribumi atau setidaknya bisa hidup berdampingan dengan agama lain selama berabad-abad.

 

C.    Membangun Argumen tentang Urgensi Pribumisasi Islam

Bangsa Indonesia sangat memerlukan kerja kolaboratif dan koordinatif dari pelbagai komponen untuk menggalang semua potensi bangsa agar terjadi sebuah kerjasama yang efektif dan produktif bagi pembumian Islam yang penuh rahmat. Namun, upaya-upaya seperti itu sering kali terhambat oleh adanya potensi-potensi konflik yang sangat banyak di negeri ini (agama, etnis, strata sosial, dan sebagainya). Salah satu potensi konflik yang mungkin dapat menghalangi proses pembangunan dan modernisasi di Indonesia adalah pemahaman agama.

Seringkali ajaran agama, yang bernilai universal dan tidak memihak, berubah menjadi sebuah pemahaman agama yang bersifat sektarian dan lokal. Seringkali pula Tuhan yang Mahaluhur dan Mahamulia diseret oleh subjektivitas manusia untuk membenarkan sikap sektarian tersebut. Teks suci agama pun tidak luput dari tangan-tangan nakal manusia. Teks sengaja dipahami secara lepas dari konteks kebahasaan dan sosio-psiko-historisnya agar dapat dijadikan alat untuk mengafirkan orang lain yang berbeda pemahamannya. Pada kondisi saat dunia mulai mengarah kepada peradaban global dan keterbukaan, maka ajaran agama perlu kembali dirujuk untuk ditransformasikan nilai-nilai luhurnya sehingga dapat memunculkan sebuah pemahaman agama dan sikap keberagamaan yang bebas dari fanatisme sektarian, stereotip radikal, dan spirit saling mengafirkan antara sesama umat seagama, atau antara umat yang berbeda agama. Apabila kita kembali melihat contoh rasul dengan masyarakat madaninya, maka kita dapati bahwa potensi-potensi konflik akan dapat dielimininasi dengan mengedepankan persamaan dalam keragaman. Artinya, Islam mengajarkan bahwa perbedaan itu adalah fitrah dari Tuhan, tetapi dalam menjalani hidup ini hendaknya kita tidak mempertajam perbedaan tersebut. Sebaliknya, justru kita harus mencari unsur-unsur persamaan diantara kita.

 


BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Islam mengajarkan bahwa wahyu Allah selain berbentuk tanda-tanda (āyāt) yang nirbahasa, juga bermanifestasi dalam bentuk tanda-tanda (āyāt) yang difirmankan. Wahyu tersebut memancarkan dirinya melalui tanda-tanda (āyāt) yang terdapat dalam seluruh ciptaan Allah dan berimplikasi terhadap corak keberagaman. Tanda- tanda Tuhan di alam semesta ini ada yang dipahami secara sama dan secara berbeda-beda sesuai dengan perkembangan kemampuan nalar manusia.

Terdapat beberapa perbedaan dalam ekspresi dan praktik keberagamaan. Hal ini dikarenakan adanya akulturasi agama dengan budaya lokal. Namun, diharapkan kita bisa mengeliminasi potensi-potensi konflik dengan cara mengedepankan persamaan dalam keragaman.





 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar