MAKALAH
FILSAFAT IDEALISME OBJEKTIF DAN EMPIRISISME DALAM FILSAFAT BESERTA
PARA TOKOHNYA
Diajukan Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Di susun
oleh
1.
Herlina
2.
Nurhasanah
Disusun oleh :
Nama : SILVIANTI (202302100016
Nama : nurhasiah (202302100018
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
STKIP BABUNNAJAH
TAHUN AKADEMIK
2022/2023
Daftra isi
KATA
PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.
Makalah
ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas
dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah
tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam
perkembangannya ilmu makin
terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah kehidupan
yang tidak bisa dijawab oleh ilmu,
maka filsafat menjadi tumpuan untuk
menjawabnya. Filsafat memberi penjelasan atau jawaban substansial dan radikal atas masalah tersebut. Sementara
ilmu terus mengembangakan dirinya dalam
batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal. Proses atau interaksi tersebut pada dasarnya merupakan
bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh karena
itu filsafat ilmu dapat dipandang sebagai
upaya menjembatani jurang pemisah
antara filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak
memandang ilmu sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.
Filsafat atau falsafat, berasal dari bahasa Yunani. Kalimat ini
berasal dari kata philosophia yang
berarti cinta pengetahuan. terdiri dari kata philos yang berarti cinta, senang,
suka dan kata, sedangkan kaa Sophia berarti
pengetahuan, hikmah, dan kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah
cinta kepada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah dan kebiaksanaan.
Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan ilmu,
dengan kata lain filsafat ilmu merupakan upaya
pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu (Ilmu Pengetahuan/Sains), baik
itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun
manfaat ilmu bagi kehidupan manusia.
Pengkajian tersebut tidak terlepas dari acuan pokok filsafat yang
1
tercakup dalam bidang ontologi, epistemologi, dan axiologi
dengan berbagai pengembangan dan pendalaman yang dilakukan oleh para ahli.
Tak dapat dipungkiri, zaman filsafat modern telah dimulai,
dalam era filsafat modern, dan kemudian dilanjutkan dengan filsafat abab ke- 20, munculnya berbagai
aliran pemikiran, yaitu: Rasionalisme, Emperisme, Kritisisme, Idealisme, Positivisme, Evolusionisme, Materalisme, Neo- kantianisme,
Pragmatisme, Filsafat Hidup, Fenomenologi, Eksistensialisme dan Neo-Thomisme. Namun didalam pembahasan
kali ini yang akan dibahas aliran Empirisme
(Francius Bacon, Thomas Hobbes. John lecke David
Hume)
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar
belakang di atas, maka rumusan masalahnya
adalah.
1.
Jelaskan Filsafat
Pragmatisme
2.
jelaskan Filsafat
Idealisme,
3.
Jelaskan filsafat
Positivisme
4.
Jelaskan Post Positivisme
5.
Jelaskan Empirisme
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini selain untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Filsafat Ilmu dan Islam, penulis
juga ingin manambah wawasan tentang filsafat
Idealisme, Empirisme, Paragmatisme , Positifisme dan Post Positifisme khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya,
serta untuk mengatasi masalah- masalah yang terjadi disekitar kita terkait pembahasan ini .
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cara Memperoleh Pengetahuan Sain
Pengalaman manusia sudah berkembang sejak lama. Yang dapat dicatat dengan baik ialah sejak tahun 600-an SM.
Yang mula-mula timbul agaknya ialah pengetahuan filsafat
dan hampir bersamaan
dengan itu berkembang pula pengetahuan sain dan pengetahuan mistik.
Sejak zaman dahulu, manusia telah menginginkan adanya aturan untuk mengatur manusia. Tujuannya ialah agar
manusia itu hidup teratur. Hidup teratur itu
sudah menjadi kebutuhan manusia sejak dahulu. Untuk menjamin tegaknya kehidupan
yang teratur itu diperlukan aturan.
Manusia juga perlu aturan
untuk mengatur alam. Pengalaman manusia
menunjukkan bila alam tidak diatur maka alam itu akan menyulitkan
kehidupan manusia. Sementara
itu manusia tidak mau dipersulit oleh alam. Bahkan sebaiknya
– kalau dapat – manusia ingin alam itu mempermudah kehidupannya. Karena itu harus ada aturan untuk mengatur alam.
Bagaimana membuat aturan untuk mengatur manusia dalam alam? Siapa yang dapat membuat
aturan itu? Orang Yunani Kuno sudah menemukan: manusia itulah yang membuat aturan itu. Humanisme
mengatakan bahwa manusia mampu mengatur dirinya (manusia)
dan alam. Jadi, manusia itulah yang harus membuat aturan untuk mengatur manusia dan alam.
Bagaimana membuatnya dan apa alatnya?
Bila aturan itu dibuat berdasarkan agama atau mitos, maka akan
sulit sekali menghasilkan aturan yang disepakati.
Pertama, mitos itu
tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk
mengatur manusia, dan kedua, mitos
itu amat tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan
untuk mengatur alam. Kalau begitu, apa sumber
aturan itu? Kalau dibuat berdasarkan agama? Kesulitannya ialah agama mana? Masing-masing agama menyatakan dirinya
benar, yang lain salah. Jadi,
seandainya aturan itu dibuat berdasarkan agama maka akan banyak
orang yang menolaknya. Padahal aturan
itu seharusnya disepakati oleh semua orang. Begitulah kira-kira
mereka berpikir.
Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber
pada sesuatu yang ada pada manusia.
Alat itu ialah akal. Mengapa akal? Pertama, karena akal dianggap mampu, kedua, karena akal pada setiap roang bekerja berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu
ialah logika alami yang ada pada akal setiap
manusia. Akal itulah alat dan sumber yang paling dapat disepakati. Maka, Humanisme
melahirkan Rasionalisme.
Kalau begitu diperlukan alat lain. Alat itu ialah Empirisme Empirisisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah
yang logis dan ada bukti empiris.
Nah, dalam hal anak panah tadi, menurut Empirisisme yang benar
adalah bergerak, sebab secara empiris
dapat dibuktikan bahwa anak panah itu bergerak. Coba saja perut Anda menghadang anak panah itu, perut anda akan
tembus, benda yang menembus sesuatu
haruslah benda yang bergerak.
Ya, memang, sesuatu yang diam tidak akan mampu menembus. Logis juga.Nah dengan Empirisisme inilah aturan (untuk mengatur manusia dan alam) itu dibuat. Tetapi
nanti dulu, ternyata
Empirisisme masih memiliki
kekurangan. Kekurangan Empirisisme ialah karena ia belum terukur. Empirisisme hanya sampai pada konsep-konsep yang umum. Kata Empirisisme, air kopi yang baru
diseduh ini panas, nyala api ini
lebih panas, besi yang mendidih ini
sangat panas. Kata Empirisisme, kelereng ini kecil, bulan lebih besar, bumi lebih besar lagi, matahari sangat besar. Demikianlah
seterusnya. Empirisisme hanya menemukan konsep yang sifatnya umum. Konsep itu belum operasional, karena belum terukur.
Jadi, masih diperlukan alat lain. Alat lain itu ialah Positivisme.
Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti
empirisme, yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting Positivisme.
Jadi, hal panas tadi oleh Positivisme
dikatakan air kopi ini 80 derajat celcius,
air mendidih ini 100 derajat celcius,
besi mendidih ini 1000 derajat celcius, ini satu meter panjangnya, ini satu ton beratnya, dan seterusnya. Ukuran-ukuran ini operasional,
kuantitatif, tidak memungkinkan perbedaan pendapat. Sebagaimana Anda lihat,
aturan untuk mengatur manusia dan
aturan untuk mengatur alam yang kita miliki sekarang bersifat pasti
dan rinci. Jadi, operasional. Bahkan dada dan
pinggul sekarang ini ada ukurannya, katanya, ini dalam kerangka ukuran kecantikan. Dengan ukuran ini maka kontes kecantikan dapat dioperasikan. Kehidupan
kita sekarang penuh oleh ukuran.
Positivisme sudah dapat disetujui untuk memulai upaya membuat
aturan untuk mengatur manusia dan mengatur alam. Kata Positivisme, ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya yang terukur. Tetapi bagaimana caranya? Kita masih memerlukan
alat lain.
BAB III PEMBAHASAN
3.1 PRAGMATISME
3.1.1 Sejarah Kemunculan Pragmatisme
Pragmatisme
sebagai suatu gerakan dalam filsafat lahir pada akhir abad ke-19 di Amerika. Karena itu sering
dikatakan bahwa pragmatisme merupakan sumbangan
yang paling orisinal dari pemikiran Amerika terhadap perkembangan filsafat
dunia. Pragmatisme dilahirkan dengan tujuan untuk menjebatani dua kecenderungan
berbeda yang ada pada saat itu. Kedua kecenderungan yang mau dijembatani itu yakni, pertantangan yang terjadi antara
“yang spekulatif” dan “yang
praksis”. Tradisi pemikiran yang spekulatif bersumber dari warisan filsafat rasionalistik Descartes dan berkembang melalui idealisme kritis dari Kant, idealisme
absolut Hegel serta sejumlah pemikir rasionalistik lainnya.[6] Warisan ini memberikan kepada rasio manusia
kedudukan yang terhormat
kerena memiliki kekuatan
instrinsik yang besar. Warisan ini pulalah yang telah mendorong
para filsuf dan ilmuwan-ilmuwan membangun
teori-teori yang mengunakan daya nalar spekulatif rasio
untuk mengerti dan menjelaskan alam semesta.
Akan tetapi, di pihak lain ada juga warisan pemikiran yang hanya begitu menekankan pentingnya pemikiran yang bersifat praksis
semata (empirisme). Bagi kelompok ini, kerja rasio tidak terlalu ditekankan sehingga rasio
kehilangan tempatnya. Rasio kehilangan kreativitasnya sebagai instrumen khas manusiawi yang mampu membentuk
pemikiran dan mengarahkan sejarah. Hasil
dari model pemikiran ini yakni munculnya ilmu-ilmu terapan. Termasuk di dalamnya
yakni Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, secara filosofis, pragmatisme berusaha untuk menjebatani dua aliran filsafat
tradisional ini. Atas salah satu
cara
pragmatisme menyetujui apa yang menjadi keunggulan dari empirisme. Hal- hal itu seperti.
1.
Bahwa kita tidak pernah
memiliki konsep yang menyeluruh tentang
realitas,
2.
Pengetahuan mengenai
obyek-obyek material bersumber
dari persepsi dengan
perspektif yang berbeda-beda,
3.
Dibutuhkan pemahaman
multidimensi atau memerlukan pemahaman pluralitas.
Jadi pemahaman komprehensif mesti dilihat dalam
pluralitas.
Selain
sependapat dengan empirisme untuk beberapa hal di atas, pragmatisme juga sependapat dengan tradisi rasionalisme dan idealisme dalam hal keseluruhan nilai hidup, terutama
moralitas dan agama memberi makna untuk hidup manusia.
Melihat
apa yang ingin dijembatani ini, pragmatisme mengangkat nilai-nilai positif yang ada pada kedua tradisi tersebut.
Prinsip yang dipegang kaum pragmatis yakni:
tidaklah penting bahwa saya menerima teori ini atau itu; yang penting ialah apakah
saya memiliki suatu teori atau nilai yang dapat berfungsi
dalam tindakan.[8]
3.1.2 Pengertian Pragmatisme
Pragmatism
berasal dari kata pragma yang berarti guna. Pragma berasal dari kata yunani. Maka pragmatisme adalah
suatu aliran filsafat abad ke-20 yang mengajarkan
bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan
dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara
praktis.
Pragmatisme merupakan
teoriu kebenaran yang mendasarkan diri kepada
criteria tentang fungsi atau tidaknya suatu pernyataan
dalam lingkup ruang dan waktu tertentu.
Menrut teori ini, suatu kebenaran suatu pernyataan di ukur dengan menggunakan criteria
fungsional. Suatu pernyataan benar jika pernyataan
tersebut memiliki
fungsi atau kegunaan
dalam kehidupan praktis.
Jadi, kebenaran menurut paham
ini bukan kebenaran yang di lihat dari segi etik, baik atau buruk, tetapi
kebenaran yang di dasarkan pada kegunaannya
3.1.3 Tokoh Pragmatisme Dan Pemikirannya
1.
Charles Sandre Peirce ( 1839 M )
Dalam konsepnya ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh
bila memang memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme sebenarnya bukan suatu filsafat,
bukan metafisika, dan bukan
teori kebenaran, melainkan suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah. Dari kedua pernyataan itu
tampaknya Pierce ingin menegaskan
bahwa, pragmatisme tidak hanya sekedar ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta mencari kebenaran
belaka, juga bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan hakekat
dibalik realitas, tetapi konsep
pragmatisme lebih cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia.
Peirce mengemukakan dua
metode yaitu metode pragmatik dan
prosedur penetapan makna. Yang
dimaksud metode pragmatik merupakan
sebuah ide yang kita pikirkan itu
bisa menjadi jelas. Metode pragmatik bukan dimaksudkan untuk menetapkan makna semua ide melainkan untuk konsep
intelektual yang dimiliki struktur
argumentatif atas fakta obyektif.
Prosedur Penetapan
Makna merupakan urunan lain yang dari Peirce pada pragmatisme. Pertama, suatu makna itu kosong bila tak dapat
diaplikasikan dalam situasi. Kedua,
untuk dapat memberikan makna kita
harus membangun sekema sebagai
kerangka teoretik untuk mendapatkan isi konsep empirik yang signifikan.
2.
William, James (1842-1910)
Lahir di new York, pada tahun 1842. Setelah belajar ilmu kedokteran
di universitas Harvard, ia kemudian
pada tahun 1855-1860
belajar di Inggris,
prancis, Swiss, dan Jerman. memperkenalkan
ide-idenya tentang pragmatism kepada
dunia. Ia ahli dalam bidang seni, psikologi, anatomi, fisiologi, dan filsafat. Pemikiran filsafatnya lahir karena dalam
sepanjang hidupnya mengalami konflik antara pandangan
ilmu pengetahuan dengan pandangan agama. Ia beranggapan, bahwa masalah kebenaran tentang
asal/tujuan dan hakikatnya bagi orang Amerika
terlalu teoritis. Ia menginginkan hasil-hasil yang konkrit. Dengan demikian, untuk mengetahui
kebenaran dari idea tau konsep haruslah diselidiki konskuensi-konskuensi praktisnya.
William james selain menamakan filsafatnya dengan pragmatisme, juga menyebut
dengan istilah radical
empirisme (suatu empirisme
harus tidak menerima unsure alam bentuk apapun yang
tidak alami secara langsung, atau mengeluarkan
dari bentuknya unsure
yang di alamin secara langsung).
a.
Kebenaran Pragmatisme
Dalam bukunya the meaning of the truth (1909), James mengemukakan bahwa tiada kebenaran mutlak yang berlaku
umum, bersifat tetap, berdiri sendiri, dan
terlepas dari segala akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar
dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa
berubah, karena di dalam praktiknya apa yang kita anggap benar dapat di koreksi
oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tiada kebenaran
yang
mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran “plural” (apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat di
ubah oleh pengalaman berikutnya).
Dalam membuktikan suatu kebenaran, James mengajukan pertanyaan“apakah yang dilakukan
oleh hide padamu dalam menghadapi kehidupan nyata?”. Untuk
memilikin nilai-nilai kemanusiaan, setiap ide mestilah berguna untuk mewujudkan setiap tujuan hidup yang jelas. Ketika James menyelidiki
teori-teori kebenaran yang tradisional, ia menanyakan apakah arti kebenaran dalam tindakan. Kebenaran harus
merupakan nilai dari satu ide. Tak ada
suatu motif dalam mengatakan bahwa sesuatu itu benar atau tidak benar, kecuali
untuk member Petunjuk
bagi tindakan yang Praktis. Dalam
konteks ini, James mengatakan:
“ideas become true just so far as they help us to get into
satisfactory relation other Parts of
out experience” (“ suatu ide menjadi benar sejauh ide itu menolong
kita untuk memasuki
hubungan-hubungan yang menguntungkan dan memuaskan dengan bagian-bagian lain Pengalaman kita”).
James menolak
mentah-mentah tentang filsafat
tradisional yang mengatakan bahwa kebenaran itu bersifat
“monistik” (tunggal). Kebenaran itu relative,
subjektif, dan terus berkembang. Nilai perkembangan dalam pragmatism tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya, atau tergantung kepada keberhasilan dari perbbbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan
itu benar jika bermanfaat bagi pelakunya, jika dapat memperkaya hidup, serta kemungkinan-kemungkinan
hidup. Menurut James, ada dua hal kebenaran pokok dalam filsafat, yaitutough minded dan tender minded. Tough minded dalam mencari kebenaran hanya lewat pendekatan empiris dan tergantung pada fakta-fakta yang dapat
ditangkap indra. Ini tentu saja menuju pada materialism, dan skeptic dan apriori terhadap
apa saja yang berbau immaterial (transidental). Sikaf ini dipegang kuat oleh penganut
filsafat
empirisme.
Sementara tender mended hanya mengakui kebenaran yang sifatnya berada dalam ide dan yang bersifat
rasional. Tender mended sangat apriori pada
realitas. Paham semacam ini dipegang teguh oleh penganut filsafat
idealisme. James dating untuk menengahi
kedua paham tersebut
dalam mengajukan konsep miliorismenya.
b.
Pragmatism dan Etika
Terdapat hubungan
yang erat antara konsep pragmatisme mengenai kebenaran dan sumber kebaikan.
Selama ide itu bekerja dan menghasilkan hasil-hasil yang memuaskan, maka ide itu
bersifat benar. Suatu ide di anggap benar
apabila dapat memberikan keuntungan kepada manusia dan yang dapat di percayai tersebut membawa ke arah kebaikan.
Suatu
bentuk teori etika dapat di bangun demi teori pragmatisme ini. Metode pragmatisme dalam memebrikan batasan
antara baik atau buruk, salah atau benar, adalah sama seperti
membatasi apakah suatu itu benar atau salah. Contohnya,
mencuri bila ia mendatangkan manfaat bagi pelakunya
berarti ia baik, tetapi bila ia mengakibatkan menderita berarti ia buruk
3. Jhon Dewey
Ia
dilahirkan di Burlingtonpada tahun 1859. Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore ia menjadi guru besar di bidang
filsafat dan kemudian juga bidang pendidikan
pada universitas-universitas di Mionnesota, Michigan, Chicago (1894- 1904),
dan akhirnya universitas Columbia (1904-1929).
Sekalipun
Dewey terlepas dari Willian James, ia menghasilkan pemikiran yang nampaknya memiliki
persamaan dengan gagasan
james. Ia adalah
seorang
pragmatis tetapi ia lebih suka menyebut
sistemnya dengan istilah
insrtumentalisme. Menurutnya, tugas filsafat ialah memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu
filsafat tidak boleh tenggelam
dalam pemikiran-pemikiran metafisis
yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak
pada pengalaman dan penyelidikan serta mengelola pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian filsafat
akan dapat menyusun
suatu system norma-norma dan nilai-nilai.
Pemikiran
kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman-pengalaman. Gerak itu di bangkitkan
segera kita di hadapkan dengan suatu
keadaan yang menimbulkan persoalan dalam dunia
sekitarnya, dan gerak itu berakhir
dalam beberapa perubahan
dalam dunia sekitar atau dalam diri kita sendiri.
Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang mengandung di dalamnya
pemisahan antara subjek dan objek, tetapi menyatukan keduanya. Jika subjek dan objek di
pisahkan maka itu bukan pengalaman
tetapi pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran itulah yang menyusun
sasaran pengetahuan.]
Menurut Dewey, penyelidikan adalah transformasi
yang terawasi atau terpimpin
dari suatu keadaan
yang tertentu. Penyelidikan berkaitan dengan penyusunan kembali pengalaman yang di
lakukan dengan sengaja. Oleh karena itu,
penyelidikan dengan penilaiannya adalah suatu alat (instrumenth). Jadi yang di maksud dengan instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari
konmsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan
dalam bentuknya yang bermacam-macam itu, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam
penentuan- penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi- konsekuensi di masa depan.
Dalam
rangka pandangan ini maka yang benar adalah apa yang pada akhirnya
di setujui oleh semua orang yang menyelidikinya. Kebenaran di tegaskan dalam istilah-istilah
penyelidikan. Kebenaran sama sekali bukan hal
yang sekali di tentukan tidak boleh di ganggu gugat, sebab, dalam
prakteknya, kebenaran memiliki nilai
fungsional yang tetap. Segala pernyataan yang kita anggap benar pada dasarnya dapat berubah.
Mengenal adalah berbuat. Kadar kebenarannya akan tampak dari pengujiannya
oleh pengalaman-pengalaman di dalam praktek. Satu-satunya cara yang dapar di percaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah metode induktif.Metode ini bukan
hanya berlaku bagi limu pengetahuan
fisika tetapi juga bagi persoalan-persoalan
sosial dan moral.
3.1.4 CIRI KHAS PRAGMATISME
Seperti yang kita lihat dalam uraian sebelumnya, secara umum orang memakai
istilah pragmatisme sebagai ajaran yang mengatakan bahwa suatu teori itu benar
sejauh sesuatu mampu dihasilkan oleh teori tersebut. Misalnya sesuatu itu dikatakan berarti atau benar
bila berguna bagi masyarakat. Sutrisno lebih lanjut menyatakan bahwa pragmatisme lebih merupakan suatu teori mengenai
arti daripada teori tentang kebenaran.
Menurut Peirce kebenaran
itu ada bermacam-macam. Ia sendiri
membedakan kenajemukan kebenaran
itu sebagai berikut
:
Pertama, trancendental
truth yang diartikan
sebagai letak kebenaran
suatu hal itu bermukim pada kedudukan benda itu sebagai benda itu
sendiri. Singkatnya letak kebenaran suatu hal adalah
pada “things as things”.
Kedua,
complex truth yang berarti kebanaran
dari pernyataan- pernyataan. Kebenaran kompleks ini
dibagi dalam dua hal, yaitu kebenaran etis disatu pihak dan kebanaran
logis dipihak lain.
Kebenaran etis adalah seluruh pernaytaan dengan siapa yang diimami oleh si pembicara, sedangkan kebenaran logis adalah selarasnya suatu pernyataan dengan realitas
yang didefinisikan.
Patokan kebenaran proporsi
atau pernyataan itu dilandaskan pada pengalaman.
Artinya : suatu proporsi itu benar apabila pengalaman ,e,buktikan kebenarannya. Begitu pula sebaliknya.
Menurut Peirc, ada beberapa proporsi yang
tidak dapat dikatakan salah, yaitu proporsi
dari matematika murni.
Disini, kriteria kebenaran matematika murni letknya
dalm hal “ketidak mungkinannya lagi” untuk menemukan kasus
yang lemah. Dalam matematika murni,
semua kasus dan proporsi serba kuat . proporsinya sama sekali juga tidak mengatakan sesuatu tentang hal-hal yang
faktual ada atau fakta aktual karena matematika
murni tidak pernah menghiraukan apakah ada real atau fakta yang cocok dengan pernyataan itu atau tidak. Karena itulah
Peirnc mengatakan bahwa proporsi matematika murni tidak dapat diklasifikasikan secara pasti kebenarannya. Masalah penentuan hal “benar” memang bisa dilihat
dari bermacam-macam segi yaitu
disatu pihak bisa diartikan sebagai “the universe of all truth”, dipihak lain, dari sudut epistemologi, kebenaran di
definisikan sebagai kesesuaian antara
pernyataan dengan penyelidikan empiris.
Karena itu, teori pragmatisme Peirce lebih menekankan teori
tetntang arti daripada teori tentang
kebenara. Pandangan Peirce tentang kebenaran dalam uraian diatas, lebih merupakan pandangan seorang idealis
daripada pandangan seorang pragmatis
Menurut Peirce, pragmatis
adalah suatu metode untuk membuat sesuatu ide manjadi
jelas atau terang
menjadi berarti. Kelihatan
sekali teori arti Peirce
pada pragmatisismennya, baginya pragmatisme adalah metode untuk
menditerminasi makna dari ide-ide. Ide itulah yan hendak
diditerminasikan atau artinya melalui pragmatime.
Ketiga,
yaitu ide tentang kaitan salah satu bentuk
pasti dari obyek yang diamati oleh penilik,
ciri khas pragmatisme merupakan
,etode untuk ,e,astikam arti ide-ide di atas.
3.1.5 Kekuatan Dan Kelemahan
Pragmatisme
a.
Pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia untuk hanya sekedar
mempercayai pada hal yang sifatnya riil, indrawi, dan yang manfaatnya bisa dinikmati secara
praktis pragmatis dalam kehidupan
sehari-hari.
b.
Pragmatisme
telah berhasil mendorong berfikir yang liberal, bebas, dan selalu menyangsikan segala yang ada. Berangkat dari sikap skeptis
tersebut, pragmatisme telah mampu mendorong dan member semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba
membuktiakn suatu konsep lewat penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian dan eksperimen- eksperimen sehingga muncullah
temuan-temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan
dan teknologi yang mampu mendorong
secara dahsyat terhadap
kemajuan di bidang sosial dan ekonomi.
c.
Sesuai dengan coraknya yang “sekuler” pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan yang mapan”.
Suatu kepercayaan dapat di terima apabila
terbukti kebenarannya lewat pembuktian yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya
suatu yang sacral dan mitos. Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompok pragmatisme merupakan pendukung terciptanya demokratisasi,
kebebasan manusia,
dan gerakan-gerakan progresif dalam masyarakat modern.
a.
Pada
perkembangannya pragmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam upaya mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap
seperti ini menurus kepada sikap hateisme.
b.
Karena yang menjadi kebutuhan
utama dalam filsafat
pragmatisme adalah suatu yang
nyata, praktis, dan langsung dapat di nikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptakan pola pikir masyarakat yang materialis. Manusia berusaha keras untuk memenuhi
kebutuhan- kebutuhan yang bersifat rohaniah,
maka dalam otak masyarakat pragmatisme trelah di hinggapi
oleh penyakit materialism.
c.
Untuk
mencapai tujuan materialismenya, manusia mengejarnya dengan berbagai
cara, tanpa mempedulikan lagi bahwa dirinya
merupakan anggota dari masyarakat sosialnya. Ia bekerja tanpa mengenal batas waktu
hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan materinya, maka dalam struktur masyarakatnya manusia hidup
semakin egois individualis. Dari sini masyarakat pragmatisme menderita
penyakit humanisme.
3.1.6
Sifat-sifat Pragmatisme
Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan
masalah. Sebagi kritik terhadap pendekatan
ideologis, pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi
pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan abstrak
yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi
praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan
keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan masalah
yang dihadapi masyarakat. Sebagai prinsip pemecahan
masalah,
pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi
terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang
ada, mengubah situasi yang penuh keraguan
dan keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan dan keresahan tersebut
hilang
Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini muncul masalah, karena
pragmatisme membuang diskusi tentang dasar pertanggungjawaban yang diambil sebagai
pemecahan atas masalah
tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan
kaum pragmatisterhadap perselisihan teoritis,serta pembahasan nilai-nilai yang berkepanjangan sesegera
mungkin mengambil tindakan langsung
3.1.7
Implementasi Filsafat
Pragmatisme
Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar subjek
didik saat belajar di sekolah tak berbeda ketika ia berada di luar sekolah. Oleh karenanya, kehidupan
di sekolah selalu disadari sebagai
bagian dari pengalaman hidup, bukan bagian dari
persiapan untuk menjalani hidup. Di sini pengalaman
belajar di sekolah tidak berbeda dengan pengalaman saat ia belajar di luar sekolah.
Pelajar menghadapi problem
yang menyebabkan lahirnya
tindakan penuh dari pemikiran yang relative. Di sini kecerdasan disadari
akan melahirkan pertumbuhan dan
pertumbuhan akan membawa mereka di dalam beradaptasi dengan dunia yang berubah. Ide gagasan yang berkembang menjadi
sarana keberhasila.
1.
Instrumemtalisme
Dewey
berpendapat bahwa berpikir sebagai alat untuk memecahkan masalah. Dengan demikian maka ia mengesampingkan
penelitian ilmu murni yang secara langsung berkaitan dengan kehidupan konkret.
2.
Eksperimentalisme
Kita
menguji kebenaran suatu peoposisi dengan melakukan percobaan. Dengan demikian maka tidak ada kebenaran yang
pasti dan dapat dijadikan pedoman dalam bertindak. Misalnya: suatu UU terus menerus
diuji. Lantas, kapan masyarakat
bisa menjadikan UU itu sebagai pedoman untuk bertindak? Pendek kata dalam hidup bermasyarakat, kita
memerlukan kebenaran yang ditetapkan, bukan terus-menerus diuji.
3.
Pendidikan
Dewey menekankan pendidikan formal berdasarkan minat anak-anak dan pelajaran yang diberikan hendaknya
disesuaikan dengan minat anak-anak. Dengan pandangan yang demikian maka
pelajaran yang berlangsung di sekolah tidak difokuskan karena minat setiap anak itu berbeda-beda. Demikian
juga dengan pelajaran-pelajaran
pokok yang harus diajarkan kepada anak-anak tidak dapat diterapkan dengan baik.
4.
Moral
Penolakan
dewey terhadap gagasan adanya final end berdasarkan finalis kodrat manusia dan sebagai gantinya ia menekankan
peran ends-in-view, membuat teorinya
jatuh pada masalah ”infinite regress” (tidak adanya pandangan yang secara logis memberi pembenaran akhir bagi
proses penalaran. Karena adanya final
end yang berlaku universal ditolak dan yang ada adalah serangkaian ends- in-view maka pembenaran terhadap
ends-in-view tidak pernah dilakukan secara defenitif. Akibatnya
tidak ada tolak ukur yang tegas untuk menilai tindakan itu baik atau tidak
Model
pembelajaran pragmatisme adalah anak belajar di dalam kelas dengan cara berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam masalah dan pemecahanya.
Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan kewajiban
masing-masing. Sementara, guru hanya
bertindak
sebagai fasilitator dan motivator.
Model pembelajaran ini berupaya
membangkitkan hasrat anak untuk terus belajar, serta anak dilatih
berpikir secara logis. Sebagaimana
yang diungkap oleh Power (Sadulloh, 2003:133) bahwa, implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme terhadap
pelaksanaan pendidikan mencakup tiga hal pokok.
Ketiga hal pokok tersebut, yaitu:
·
Tujuan Pendidikan, tujuan pendidikan pragmatisme adalah
memberikan pengalaman untuk
penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi.
·
Kedudukan Siswa, kedudukan siswa
dalam pendidikan pragmatisme
merupakan suatu organisasi
yang memiliki kemampuan yang luar
biasa dan kompleks untuk tumbuh.
·
Kurikulum, kurikulum pendidikan pragmatis berisi
pengalaman yang teruji yang dapat
diubah. Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat menentukan kurikulum. Guru
menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan kebutuhan
anak tersebut.
·
Metode, metode yang digunakan dalam pendidikan
pragmatisme adalah metode aktif, yaitu
learning
by doing (belajar sambil bekerja), serta metode pemecahan masalah (problem solving method), serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan
guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias,
kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar,
bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar
berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.
·
Peran Guru. Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.
Selain hal di atas, pendidikan pragmatisme kerap dianggap
sebagai pendidikan yang
mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam ruang pembelajaran sekolah. Karena pendidikan bukan ruang
yang terpisah dari sosial, setiap orang dalam
suatu masyarakat juga diberi kesempatan
untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan
pendidikan yang ada. Keputusan-keputusan tersebut
kemudian mengalami evaluasi
berdasarkan situasi-situasi sosial yang ada.
3.2 IDEALISME
3.2.1 Sejarah Idealisme
Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah
pemikiran manusia. Mula-mula
dalam filsafat barat kita temui
dalam bentuk ajaran yang murni dari
Plato. Plato menyatakan bahwa alam cita-cita itu adalah yang merupakan
kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati
ruang ini hanya berupa bayangan
saja dari alam ide.
Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide
sebagai suatu tenaga yang berada dalam benda- benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa
paham idealisme sepanjang masa tidak pernah hilang sama sekali. Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat
yang disepakati oleh semua ahli pikir adalah
dasar idealisme ini.
Pada jaman Aufklarung para filosof yang mengakui
aliran serba dua (dualisme) seperti
Descartes dan Spinoza
yang mengenal dua pokok yang bersifat
kerohanian dan kebendaan, maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting daripada
kebendaan. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut idealisme
yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka
tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang
mendalam. Puncak jaman idealisme
pada masa abad ke-18 dan 19 ketika periode idealisme.
Secara historis, idealisme
diformulasikan dengan jelas pada abad IV sebelum masehi oleh Plato (427-347 SM).
Semasa Plato hidup kota Athena adalah
kota yang berada dalam kondisi transisi (peralihan). Peperangan bangsa Persia telah mendorong Athena memasuki
era baru. Seiring dengan adanya peperangan-peperangan
tersebut, perdagangan dan perniagaan tumbuh subur dan orang-orang asing tinggal diberbagai penginapan Athena dalam jumlah besar untuk meraih keuntungan mendapatkan kekayaan yang melimpah. Dengan adanya hal itu, muncul berbagai gagasan-gagasan baru ke
dalam lini budaya bangsa Athena.
Gagasan-gagasan baru tersebut dapat mengarahkan warga Athena untuk mengkritisi pengetahuan & nilai-nilai
tradisional. Saat itu pula muncul kelompok baru dari kalangan pengajar (para Shopis. Ajarannya memfokuskan pada individualisme, karena
mereka berupaya menyiapkan warga untuk
menghadapi peluang baru terbentuknya masyarakat niaga. Penekanannya terletak pada individualisme, hal itu
disebabkan karena adanya pergeseran dari budaya
komunal masa lalu menuju relativisme dalam bidang kepercayaan dan nilai.
Aliran filsafat Plato dapat dilihat sebagai suatu reaksi terhadap
kondisi perubahan terus-menerus yang telah meruntuhkan budaya Athena lama. Ia merumuskan kebenaran sebagai sesuatu yang
sempurna dan abadi (eternal). Dan
sudah terbukti, bahwa dunia eksistensi keseharian senantiasa mengalami perubahan. Dengan demikian, kebenaran
tidak bisa ditemukan
dalam dunia materi yang tidak sempurna dan berubah.
Plato percaya bahwa disana terdapat kebenaran
yang universal dan dapat disetujui oleh semua orang. Contohnya dapat ditemukan pada matematika, bahwa 5 + 7 = 12 adalah selalu benar
(merupakan
kebenaran apriori), contoh tersebut sekarang benar, dan bahkan di waktu yang akan datang pasti akan tetap benar.
Idealisme dengan penekanannya pada
kebenaran yang tidak berubah, berpengaruh pada pemikiran kefilsafatan. Selain itu, idealisme
ditumbuh kembangkan dalam
dunia pemikiran modern. Tokoh-tokohnya antara lain: Rene Descartes (1596-1650), George Berkeley (1685-1753), Immanuel
Kant (1724- 1804) dan George W. F.
Hegel (1770-1831). Seorang idealis dalam pemikiran pendidikan yang paling berpengaruh di Amerika adalah William T.
Harris (1835- 1909) yang menggagas
Journal of Speculative Philosophy. Ada dua penganut idealis abad XX yang telah berjuang menerapkan idealisme dalam bidang pendidikan modern,
antara lain: J. Donald Butler dan Herman H. Horne. Sepanjang sejarah,
idealisme juga terkait
dengan agama, karena keduanya sama-sama
memfokuskan pada aspek spiritual dan keduniawian lain dari realitas.
3.2.2
Pengertian Idealisme
Idealisme adalah salah satu aliran
filsafat pendidikan yang berpaham bahwa
pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide. Semua bentuk
realita adalah manifestasi dalam ide. Karena pandangannya yang idealis itulah idealisme sering
disebut sebagai lawan dari aliran realisme. Tetapi, aliran ini justru muncul
atas feed back realisme yang menganggap realitas sebagai kebenaran
tertinggi. Idealisme menganggap, bahwa yang konkret
hanyalah bayang-bayang, yang terdapat dalam akal pikiran manusia. Kaum idealisme sering menyebutnya dengan
ide atau gagasan.
Seorang realisme tidak menyetujui pandangan tersebut. Kaum realisme berpendapat bahwa yang ada itu adalah
yang nyata, riil, empiris, bisa dipegang, bisa diamati dan lain-lain. Dengan kata lain sesuatu yang nyata adalah sesuatu yang bisa diindrakan (bisa diterima oleh panca
indra).
3.2.3
Perkembangan Idealisme.
Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pikiran manusia. Mula-mula dalam
filsafat Barat kita temui dalam bentuk ajaran
yang murni dari Plato. Yang menyatakan bahwa alam, cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya.
Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam idea itu. Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan
ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai sesuatu
tenaga (entelechie) yang berada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang masa tidak pernah faham
idealisme hilang sarna sekali. Di masa abad
pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh semua
ahli pikir adalah dasar idealisme ini.
Pada jaman Aufklarung ulama-ulama filsafat yang mengakui aliran
serba dua seperti Descartes dan
Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat
kerohanian dan kebendaan
maupun keduanya mengakui
bahwa unsur kerohanian lebih penting daripada
kebendaan. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut Idealisme
yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki
dalil-dalil filsafat yang mendalam.
Puncak jaman Idealiasme pada masa abad ke-18 dan
19 ketika periode Idealisme Jerman sedang besar sekali pengaruhnya di Eropa
3.2.4 Jenis-jenis Idealisme
a.
Idealisme Subyektif (Immaterialisme) :
Seorang idealis subyektif berpendirian bahwa akal, jiwa dan persepsi- persepsinya atau ide-idenya merupakan
segala yang ada. Obyek pengalaman bukan
benda material, obyek pengalaman adalah persepsi. Benda-benda seperti bangunan
dan pohon-pohonan itu ada, tetapi hanya ada dalam akal yang
mempersepsikannya.
George Berkeley (1685-1753), seorang filosof dari Irlandia. Ia lebih suka menamakan filsafatnya
dengan immaterialisme.Baginya, ide adalah 'esse
est perzipi' (ada berarti dipersepsikan). Tetapi akal itu sendiri tidak perlu dipersepsikan agar dapat berada. Akal
adalah yang melakukan persepsi. Segala yang
riil adalah akal yang sadar atau suatu persepsi atau ide yang dimiliki oleh akal tersebut.
Berkeley menyatakanbahwa ketertiban dan konsistensi alam adalah
riil disebabkan oleh akal yang aktif
yaitu akal Tuhan, akal yang tertinggi, adalah
pencipta dan pengatur
alam. Kehendak Tuhan adalah hukum alam. Tuhan menentukan
urutan dan susunan ide-ide. Berkeley menyatakanbahwa ketertiban dan konsistensi alam adalah riil
disebabkan oleh akal yang aktif yaitu akal Tuhan, akal yang tertinggi, adalah pencipta dan pengatur alam.
Kehendak Tuhan adalah hukum alam.
Tuhan menentukan urutan dan susunan ide-ide.Tak mungkin ada benda atau persepsi
tanpa seorang yang mengetahui benda atau persepsi
tersebut, subyek (akal atau si yang tahu) seakan-akan menciptakan
obyeknya (apa yang disebut materi
atau benda-benda) bahwa apa yang riil itu adalah akal yang sadar atau persepsi
yang dilakukan oleh akal tersebut.
b.
Idealisme Obyektif
Platomenamakan realitas yang fundamental dengan nama ide, tetapi baginya, tidak seperti Berkeley, hal
tersebut tidak berarti bahwa ide itu, untuk berada,
harus bersandar kepada suatu akal, apakah itu akal manusia atau akal Tuhan. Platopercaya bahwa di belakang alam perubahan atau alam empiris, alam
fenomena yang kita lihat atau kita rasakan, terdapat dalam ideal, yaitu alam essensi, formatau ide.
Plato:dunia dibagi
dalam dua bagian.
·
Pertama,
dunia persepsi, dunia penglihatan, suara dan benda- benda individual.
Dunia seperti itu, yakni yang kongkrit, temporal dan rusak, bukanlah dunia yang sesungguhnya, melainkan
dunia penampakkan saja.
·
Kedua,
terdapat alam di atas alam benda, yaitu alam konsep, ide, universal
atau essensiyang abadi. Konsep manusiamengandung realitasyang lebih besar daripada yang dimiliki orang seorang. Dikenalnyabenda-benda individual karena mengetahui konsep-konsep dari contoh-contoh
yang abadi.
Ide-ide adalah contoh
yang transenden dan asli, sedangkan
persepsi dan benda-benda
individual adalah copyatau bayangandari ide-ide tersebut. Ide- ide yang tidak berubah atau essensi yang
sifatnya riil, diketahui manusia dengan perantaraan akal. Jiwa manusia
adalah essensi immaterial, dikurung dalam badan manusia untuk sementara waktu. Dunia
materi berubah, jika dipengaruhi rasa indra, hanya akan memberikan opini dan bukan pengetahuan. Ide-ide
adalah contoh yang transenden dan asli, sedangkan persepsi dan
benda-benda individual adalah
copyatau bayangandari ide-ide tersebut. Ide-ide
yang tidak berubah atau essensi yang
sifatnya riil, diketahui manusia dengan perantaraan akal. Jiwa manusia adalah essensi immaterial, dikurung dalam
badan manusia untuk sementara waktu.
Dunia materi berubah, jika dipengaruhi rasa indra, hanya akan memberikan opini dan bukan pengetahuan. Kelompok
idealis obyektif modern berpendapat
bahwa semua bagian alam tercakup dalam suatu tertib yang meliputi
segala sesuatu, dan mereka menghubungkan kesatuan tersebut kepada
ide dan maksud-maksud dari suatu
akal yang mutlak (absolute mind).
Hegel (1770-1831) memaparkan satu dari sistem-sistem yang terbaik dalam idealisme monistik
ataumutlak(absolute). Pikiran adalah essensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa yang diobyektifkan. Alam
adalahAkal yang Mutlak(absolute reason)
yang mengekpresikan dirinya
dalam bentuk luar.
Sejarahadalah cara zat Mutlak (absolute) itu menjelmadalam waktu dan pengalaman manusia. Oleh karena alam itu satu, dan bersifat mempunyai
maksud serta berpikir,
maka alam itu harus berwatak
pikiran. Hegel membentangkan suatu konsepsi yang dinamik
tentang jiwa dan lingkungan; jiwa dan
lingkungan itu adalah begitu berkaitan sehingga tidak dapat mengadakan pembedaan
yang jelas antara
keduanya. Jiwa mengalami realitas setiap waktu.
c.
Idealisme Personal
Personalismemuncul sebagai protesterhadap meterialisme mekanik dan idealisme
monistik. Bagi seorang
personalis, realitas dasar itu bukannya
pemikiran yang abstrak
atau proses pemikiran
yang khusus, akan tetapi seseorang, suatu jiwa atau seorang pemikir.
Realitas itu termasuk
dalam personalitas yang sadar.
Jiwa (self) adalah satuan kehidupan yang tak dapat diperkecil lagi, dan hanya dapat dibagi dengan cara abstraksi
yang palsu. Kelompok personalis berpendapat bahwa
perkembangan terakhir dalam sains modern,
termasuk di dalamnya formulasi teori realitas dan pengakuan yang selau bertambah terhadap 'tempat berpijaknya
si pengamat' telah memperkuat sikap mereka. Realitasadalah suatu sistem jiwa personal, oleh karena itu realitas bersifat pluralistik. Kelompok personalis
menekankan realitas dan harga diri dari orang-orang,
nilai moral, dan kemerdekaan manusia. Bagi kelompok personalis, alam adalah tata tertib yang obyektif,
walaupun begitu alam tidak berada sendiri. Manusia mengatasi alam jika ia mengadakan interpretasi terhadap alam ini. Sains mengatasi materialnya melalui teori-teorinya; alam arti dan alam nilai menjangkau lebih jauh daripada
alam semesta sebagai
penjelasan terakhir.Realitas
adalah masyarakat perseorangan yang juga mencakup Zat yang tidak
diciptakan dan orang-orang yang diciptakan Tuhan dalam masyarakat manusia. Alam diciptakan oleh Tuhan, Akuyang Maha Tinggi dalam
masyarakat individu. Terdapat suatu masyarakat person atau aku-akuyang ada hubungannya
dengan personalitas tertinggi. Personalisme bersifat theistik(percaya pada adanya Tuhan), ia memberi dasar metafisik
kepada agama dan etika
3.2.5. Kelebihan dan Kekurangan Idealisme
Idealisme berasal dari kata ide yang artinya adalah dunia di dalam
jiwa (Plato), jadi pandangan ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan fisik.
Realitas sendiri dijelaskan dengan gejala-gejala
psikis, roh, pikiran, diri, pikiran mutlak, bukan berkenaan dengan materi. Kata idealisme pun merupakan
istilah yang digunakan pertama kali dalam dunia
filsafat oleh Leibniz pada awal abad 18. Ia menerapkan istilah ini pada pemikiran
Plato, seraya memperlawankan dengan materialisme Epikuros.
Istilah Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang yang mental
dan ideasional sebagai kunci ke
hakikat realitas. Dari abad 17 sampai permulaan abad 20 istilah ini banyak dipakai dalam pengklarifikasian
filsafat. Tokoh-tokoh lain cukup
banyak ; Barkeley, Jonathan Edwards, Howison, Edmund Husserl, Messer dan sebagainya.
Kelebihan:
·
Meningkatkan daya pemikiran dari segi menghasilkan
ide yang benar dan boleh dipakai.
Kelemahan :
·
Anggapan terhadap
sesuatu nilai atau kebenaran yang kekal sepanjang masa.
Kelemahan :
·
Anggapan terhadap
sesuatu nilai atau kebenaran yang kekal sepanjang masa.
3.2.6 Tokoh-tokoh Idealisme
Ø Plato (477 -347 Sb.M)
Menurut Plato, kebaikan
merupakan hakikat tertinggi
dalam mencari kebenaran. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah mengetahui ide, manusia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakannya sebagai
alat untuk mengukur,
mengklarifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami sehari-hari.
Ø
Immanuel Kant (1724 -1804)
Ia menyebut filsafatnya idealis transendental atau idealis kritis
dimana paham ini menyatakan bahwa isi
pengalaman langsung yang kita peroleh tidak dianggap
sebagai miliknya sendiri melainkan ruang dan waktu adalah forum intuisi
kita. Dapat disimpulkan bahwa filsafat idealis
transendental menitik beratkan pada pemahaman tentang sesuatu
itu datang dari akal murni dan yang tidak bergantung pada sebuah pengalaman.
Ø
Pascal (1623-1662)
Kesimpulan dari pemikiran filsafat
Pascal antara lain.
a)
Pengetahuan
diperoleh melalaui dua jalan, pertama menggunakan akal dan kedua menggunakan hati.
b)
Manusia besar karena pikirannya, namun ada hal yang tidak mampu
dijangkau oleh pikiran manusia yaitu pikiran manusia itu sendiri. Menurut Pascal manusia adalah makhluk yang rumit
dan kaya akan variasi serta mudah berubah.
Untuk itu matematika, pikiran dan logika tidak akan mampu dijadikan alat untuk memahami manusia. Menurutnya alat-alat tersebut
hanya mampu digunakan untuk memahami hal-hal yang bersifat bebas
kontradiksi, yaitu yang bersifat konsisten.Karena ketidak mampuan filsafat
dan ilmu-ilmu lain untuk memahami
manusia, maka satu-satunya jalan memahami manusia
adalah dengan agama. Karena
dengan agama, manusia akan lebih mampu menjangkau pikirannya sendiri, yaitu dengan berusaha mencari kebenaran,
walaupun bersifat abstrak.
c)
Filsafat bisa melakukan apa saja, namun hasilnya tidak akan pernah sempurna. Kesempurnaan itu terletak pada iman.Filsafat bisa menjangkau
segala hal, tetapi tidak bisa secara sempurna.Karena setiap ilmu itu pasti ada kekurangannya, tidak terkecuali filsafat.
Ø
J. G. Fichte (1762-1914 M.)
Ia adalah seorang filsuf jerman. Ia belajar teologi di Jena
(1780-1788 M). Pada tahun 1810-1812 M, ia menjadi rektor Universitas Berlin. Filsafatnya disebut “Wissenschaftslehre” (ajaran
ilmu pengetahuan). Secara sederhana pemikiran Fichte: manusia memandang objek
benda-benda dengan inderanya. Dalam mengindra
objek tersebut, manusia
berusaha mengetahui yang
dihadapinya.
Maka berjalanlah proses intelektualnya untuk membentuk dan mengabstraksikan objek itu menjadi pengertian seperti yang dipikirkannya.
Ø
F. W. S. Schelling (1775-1854 M.)
Schelling telah matang menjadi seorang filsuf disaat dia masih amat muda. Pada tahun 1798 M, dalam usia 23
tahun, ia telah menjadi guru besar di Universitas
Jena. Dia adalah filsuf Idealis Jerman yang telah meletakkan dasar- dasar pemikiran bagi perkembangan idealisme Hegel.
Inti dari filsafat Schelling: yang mutlak atau rasio mutlak adalah
sebagai identitas murni atau
indiferensi, dalam arti tidak mengenal perbedaan antara yang subyektif dengan yang obyektif. Yang
mutlak menjelmakan diri dalam 2 potensi
yaitu yang nyata (alam sebagai objek) dan ideal (gambaran alam yang subyektif dari subyek). Yang mutlak
sebagai identitas mutlak menjadi sumber roh
(subyek) dan alam (obyek) yang subyektif dan obyektif, yang sadar dan
tidak sadar. Tetapi yang mutlak itu
sendiri bukanlah roh dan bukan pula alam, bukan yang obyektif dan bukan pula yang subyektif, sebab yang mutlak
adalah identitas mutlak atau indiferensi
mutlak.
Maksud dari filsafat Schelling adalah, yang pasti dan bisa diterima
akal adalah sebagai identitas murni
atau indiferensi, yaitu antara yang subjektif dan objektif sama atau tidak ada perbedaan. Alam sebagai objek dan
jiwa (roh atau ide) sebagai
subjek, keduanya saling
berkaitan. Dengan demikian
yang mutlak itu tidak bisa dikatakan hanya alam saja atau jiwa saja, melainkan
antara keduanya.
Ø G. W. F. Hegel (1770-1031 M.)
Ia belajar teologi
di Universitas Tubingen
dan pada tahun 1791 memperoleh gelar Doktor. Inti dari
filsafat Hegel adalah konsep Geists (roh atau
spirit), suatu istilah yang diilhami oleh agamanya. Ia berusaha
menghubungkan yang mutlak dengan yang
tidak mutlak. Yang mutlak itu roh atau jiwa, menjelma pada alam dan dengan demikian sadarlah ia akan dirinya. Roh itu
dalam intinya ide (berpikir)
3.2.7. Konsep
Idealisme
Konsep idealisme menurut Aliran sebagai
berikut.
a)
Ontologi-idealisme :
Aliran idealisme dinamakan juga spiritualisme. Idealisme berarti
serba cita sedang spiritualisme
berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini
beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka
ragam itu semua berasal dari ruh (sukma)
atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak
berbentuk dan menempati ruang. Materi atau
zat itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani. Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah
ruhani, spirit atau sebangsanya adalah:
·
Nilai
ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Ruh itu dianggap
sebagai hakikat yang sebenarnya. Sehingga materi
hanyalah badannya bayangan
atau penjelmaan.
·
Manusia lebih dapat memahami
dirinya daripada dunia luar dirinya.
·
Materi
ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi
itu saja.
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran plato
(428-348 SM) dengan teori idenya.
Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya, yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata
yang menempati ruangan ini hanyalah
berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idealah yang menjadi
hakikat sesuatu, menjadi
dasar wujud sesuatu.
George Knight mengemukakan bahwa realitas bagi idealism adalah
dunia penampakan yang ditangkap dengan panca indera dan dunia realitas yang ditangkap
melalui kecerdasan akal pikiran (mind). Dunia akal pikir terfokus pada ide gagasan yang lebih dulu ada dan lebih penting
daripada dunia empiris
indrawi.8 Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa ide gagasan yang lebih dulu
ada dibandingkan objek-objek
material, dapat diilustrasikan dengan kontruksi sebuah kursi. Para penganut idealisme berpandangan bahwa seseorang
haruslah telah mempunyai ide tentang
kursi dalam akal pikirannya sebelum ia dapat membuat kursi untuk diduduki. Metafisika idealisme nampaknya dapat
dirumuskan sebagai sebuah dunia
akal pikir kejiwaan. Uraian di atas dapat dipahami bahwa meskipun idealism berpandangan yang terfokus
pada dunia ide yang bersifat
abstrak, namun demikian ia
tidak menafikan unsur materi yang bersifat empiris indrawi. Pandangan idealisme tidak memisahkan
antara sesuatu yang bersifat abstrak yang
ada dalam tataran ide dengan dunia materi. Namun menurutnya, yang ditekankan adalah bahwa yang utama adalah dunia ide, karena dunia materi
tidak akan pernah
ada tanpa terlebih
dulu ada dalam tataran ide.
b)
Epistimologi-idealisme:
Kunci untuk mengetahui epistemologi idealisme terletak pada
metafisika mereka. Ketika idealisme
menekankan realitas dunia ide dan akal pikiran dan jiwa, maka dapat diketahui bahwa teori mengetahui
(epistemologi)nya pada
dasarnya
adalah suatu penjelajahan secara mental mencerap ide-ide, gagasan dan konsep-konsep. Dalam pandangannya,
mengetahui realitas tidaklah melalui sebuah pengalaman melihat, mendengar atau meraba, tetapi lebih sebagai
tindakan menguasai ide sesuatu dan memeliharanya dalam akal pikiran.
Berdasarkan itu, maka dapat dipahami bahwa pengetahuan itu tidak
didasarkan pada sesuatu yang datang
dari luar, tetapi pada sesuatu yang telah diolah dalam ide dan pikiran.
Berkaitan dengan ini Gerald Gutek mengatakan.
In idealism, the process of knowmg is that of recognition or remmisence
of latent ideas that are preformed and already present in the mind. By reminiscence, the human mind
may discover the ideas of the
Macrocosmic Mind in one's own thoughts ..... Thus, knowing is essentially a process of recognition, a recall and rethinking
of ideas that are latently present in
the mind. What is to be known is already present in the mind.
Dari kutipan di atas, diketahui bahwa menurut idealisme, proses
untuk mengetahui dapat dilakukan
dengan mengenal atau mengenang kembali ide-ide
tersembunyi yang telah terbentuk dan telah ada dalam pikiran.
Dengan mengenang kembali,
pikiran manusia dapat menemukan ide-ide tentang pikiran makrokosmik dalam pikiran
yang dimiliki séseorang. Jadi, pada dasarnya
mengetahui itu melalui
proses mengenal atau mengingat, memanggil
dan memikirkan kembali ide-ide
yang tersembunyi atau tersimpan yang sebetulnya telah ada dalam pikiran. Apa yang akan diketahui sudah ada dalam
pikiran. Kebenaran itu berada pada dunia ide dan gagasan.
Beberapa penganut idealisme mempostulasikan adanya Akal
Absolut atau Diri Absolut yang secara terus
menerus memikirkan ide-ide itu. Berkeley menyamakan konsep Diri Absolut dengan Tuhan. Dengan demikian, banyak
pemikir keagamaan mempunyai corak pemikiran
demikian. Kata kunci dalam epistemologi idealisme adalah konsistensi dan koherensi. Para penganut idealisme
memberikan perhatian besar pada upaya pengembangan suatu sistem kebenaran
yang mempunyai konsistensi logis. Sesuatu benar ketika ia selaras dengan keharmonisan hakikat alam
semesta.
Segala sesuatu yang inkonsisten dengan struktur ideal alam semesta harus ditolak karena sebagai sesuatu yang
salah. Dalam idealisme, kebenaran adalah
sesuatu yang inheren dalam hakikat alam semesta, dan karena itu, Ia telah dulu ada dan terlepas
dari pengalaman. Dengan demikian, cara yang digunakan untuk meraih kebenaran
tidaklah bersifat empirik. Penganut idealisme
mempercayai intuisi, wahyu dan rasio dalam fungsinya
meraih dan mengembangkan pengetahuan. Metode-metode
inilah yang paling tepat dalam menggumuli
kebenaran sebagai ide gagasan, dimana ia merupakan pendidikan epistemologi dasar dari idealisme.
c)
Aksiologi-idealisme:
Aksiologi idealisme berakar kuat pada cara metafisisnya. Menurut
George Knight, jagat raya ini dapat dipikirkan dan direnungkan dalam kerangka makrokosmos (jagat besar) dan mikrokosmos
(jagat kecil). Dari sudut pandang ini,
makrokosmos dipandang sebagai dunia Akar Pikir Absolut, sementara bumi dan pengalaman-pengalaman sensori dapat
dipandang sebagai bayangan dari apa yang sejatinya ada. Dalam
konsepsi demikian, tentu akan terbukti bahwa baik kriteria etik maupun estetik dari kebaikan dan kemudahan
itu berada di luar diri manusia,
berada pada hakikat realitas kebenaran itu sendiri dan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang abadi dan baku. Dalam pandangan idealisme, kehidupan etik dapat direnungkan sebagi suatu kehidupan yang
dijalani dalam keharmonisan dengan
alarm (universe). Jika Diri Absolut dilihat dalam kacamata makrokosmos, maka diri individu manusia
dapat diidentifikasi sebagai suatu diri mikrokosmos. Dalam kerangka itu, peran dari individual akan bisa menjadi
maksimal mungkin mirip dengan Diri Absolut. Jika Yang Absolut
dipandang sebagai hal yang
paling akhir dan paling etis dari segala sesuatu, atau sebagai Tuhan yang dirumuskan sebagai yang
sempurna sehingga sempurna pula dalam moral, maka lambang perilaku
etis penganut idealisme
terletak pada "peniruan"
Diri Absolut.
Manusia adalah bermoral
jika ia selaras dengan Hukum Moral Universal yang merupakan suatu ekspresi
sifat dari Zat Absolut.
Uraian di atas memberikan pengertian bahwa nilai kebaikan dipandang dan sudut Diri Absolut. Ketika manusia
dapat menyeleraskan diri dan mampu mengejewantahkan
diri dengan Yang Absolut sebagai sumber moral etik, maka kehidupan etik telah diperolehnya. Berkaitan
dengan hal tersebut,
Gutek mengemukakan bahwa pengalaman yang punya nilai didasarkan pada kemampuan
untuk meniru Tuhan sebagai sesuatu yang Absolut, sehingga nilai etik itu sendiri
merupakan sesuatu yang muttlak, abadi, tidak berubah
dan bersifat universal.
d.
Metafisika-idealisme:
secara absolut kenyataan
yang sebenarnya adalah spiritual dan rohaniah,
sedangkan secara kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan rohaniah,
tetapi kenyataan rohaniah
yang lebih berperan.
e.
humanologi-idealisme:
jiwa dikaruniai kemampuan berpikir yang dapat menyebabkan adanya kemampuan
memilih.
Demikian kemanusiaan merupakan
bagian dari ide mutlak, Tuhan sendiri.
Idea yang berpikir sebenarnya adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Gerak ini menimbulkan tesis yang
dengan sendirinya menimbulkan gerak yang
bertentangan, anti tesis. Adanya tesis dan anti tesisnya itu menimbulkan sintesis dan ini merupakan tesis baru yang
dengan sendirinya menimbulkan anti tesisnya dan munculnya sintesis
baru pula.
Demikian proses roh atau ide yang disebut Hegel dialektika. Proses itulah yang menjadi
keterangan untuk segala kejadian. Proses itu berlaku
menurut hukum akal. Jadi semua
yang riil bersifat
rasional dan semua yang
rasional bersifat riil.
Maksudnya luasnya rasio sama dengan luasnya realitas, sedangkan realitas menurut
Hegel adalah proses pemikiran (ide).
3.2.8
Prinsiip_prinsip Idealisme
Prinsip-prisip Idealisme.
a)
Menurut idealisme
bahwa realitas tersusun
atas substansi sebagaimana gagasan-gagasan atau ide (spirit).
Menurut penganut idealisme, dunia beserta
bagian-bagianya harus dipandang
sebagai suatu sistem yang masing-masing unsurnya saling
berhubungan.Dunia adalah suatu totalitas, suatu kesatuan yang logis dan bersifat
spiritual.
b)
Realitas
atau kenyataan yang tampak di alam ini bukanlah kebenaran yang hakiki, melainkan hanya gambaran atau
dari ide-ide yang ada dalam jiwa manusia.
c)
Idealisme
berpendapat bahwa manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi dari pada materi bagi kehidupan
manusia. Roh pada dasarnya
dianggap sebagai suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga
benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh atau
sukma.Demikian pula terhadap
alam adalah ekspresi
dari jiwa.
d)
Idealisme
berorientasi kepada ide-ide yang theo sentris (berpusat kepada Tuhan), kepada jiwa, spiritualitas, hal-hal yang ideal
(serba cita) dan kepada norma-norma
yang mengandung kebenaran mutlak. Oleh karena nilai- nilai idealisme bercorak
spiritual, maka kebanyaakan kaum idealisme mempercayai adanya Tuhan sebagai
ide tertinggi atau Prima Causa
dari kejadian alam semesta ini.
3.2.9. Implementasi Idealisme
Aliran idealisme terbukti cukup banyak berpengaruh dalam dunia pendidikan. William T. Harris
adalah salah satu tokoh aliran pendidikan idealisme
yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat.
Idealisme terpusat tentang
keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi
secara fundamental terhadap
naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia
sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekedar kebutuhan alam semata.
Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar
anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki
kehidupan yang bermakna,
memiliki kepribadian yang
harmonis, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan
pendidikan idealisme bagi kehidupan
sosial adalah perlunya persaudaraan antar manusia. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai
gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.
Guru dalam sistem pengajaran menurut
aliran idealisme berfungsi
sebagai.
1.
Guru adalah personifikasi dari kenyataan anak didik. Artinya,
guru merupakan wahana atau fasilitator yang akan mengantarkan anak didik dalam mengenal dunianya
lewat materi-materi dalam aktifitas pembelajaran.
2.
Guru harus seorang spesialis
dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa.
Artinya, seorang guru itu harus mempunyai pengetahuan yang lebih dari pada anak didik.
3.
Guru haruslah
menguasai teknik mengajar
secara baik. Artinya,
seorang guru harus mempunyai potensi pedagogik yaitu kemampuan untuk mengembangkan suatu model pembelajaran, baik dari segi materi dan yang lainnya.
4.
Guru haruslah
menjadi pribadi yang baik, sehingga
disegani oleh murid. Artinya, seorang guru harus
mempunyai potensi kepribadian yaitu karakter
dan kewibawaan yang berbeda dengan guru yang lain.
5.
Guru
menjadi teman dari para muridnya. Artinya, seorang guru harus mempunyai potensi sosial yaitu kemampuan
dalam hal berinteraksi dengan anak didik.
Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih memfokuskan pada isi yang
objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada
pengajaran yang textbook.
Agar pengetahuan dan pengalamannya
aktual. Sedangkan implikasi Aliran Idealisme dalam Pendidikan yaitu.
a)
Tujuan, untuk membentuk karakter,
mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikan
sosial.
b)
Kurikulum,
pendidikan liberal untuk pengembangan kemampuan dan pendidikan praktis
untuk memperoleh pekerjaan.
c)
Metode,
diutamakan metode dialektika (saling mengaitkan ilmu yang satu dengan yang lain), tetapi metode lain yang efektif
dapat dimanfaatkan.
d)
Peserta
didik bebas untuk mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuan dasarnya.
e)
Pendidik bertanggungjawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan melalui
kerja sama dengan alam.
Implementasi Idealisme
dalam Pendidikan:
a.
Pendidikan
bukan hanya mengembangkan dan menumbuhkan, tetapi juga harus menuju pada tujuan yaitu dimana nilai telah direalisasikan ke dalam bentuk
yang kekal dan tak terbatas.
b.
Pendidikan adalah proses melatih pikiran,
ingatan, perasaan. Baik untuk memahami
realita, nilai-nilai, kebenaran, maupun sebagai warisan
sosial.
c.
Tujuan
pendidikan adalah menjaga keunggulan kultural, sosial dan spiritual. Memperkenalkan suatu spirit
intelektual guna membangun masyarakat yang ideal
d.
Pendidikan
idealisme berusaha agar seseorang dapat mencapai nilai- nilai dan ide-ide
yang diperlukan oleh semua manusia
secara bersama-sama.
e.
Tujuan pendidikan idealisme adalah ketepatan
mutlak. Untuk itu, kurikulum seyogyanya bersifat tetap dan tidak menerima
perkembangan.
f.
Peranan pendidik menurut aliran ini adalah
memenuhi akal peserta didik dengan
hakekat-hakekat dan pengetahuan yang tepat.
3.3 POSITIVISME
3.3.1 SEJARAH FILSAFAT
POSITIVISME
Positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern. Secara umum
boleh dikatakan bahwa akar sejarah
pemikiran positivisme dapat dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804). Hume berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah diuji melalui percobaan
(aliran Empirisme). Sementara
Kant adalah orang yang melaksanakan pendapat Hume ini dengan menyusun Critique of
pure reason (Kritik terhadap pikiran murni / aliran Kritisisme). Selain itu Kant juga membuat
batasan-batasan wilayah pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk menghukumi pengetahuan tersebut dengan menjadikan pengalaman sebagai porosnya
(Ahmad, 2009).
Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon
(sekitar 1825). Prinsip filosofik
tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh seorang filosof berkebangsaan Inggeris yang bernama
Francis Bacon yang hidup di sekitar
abad ke-17 (Muhadjir, 2001). Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran
dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan
dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam.
Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan
Perancis, yang menggunakan istilah ini kemudian
mematoknya secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat
dalam karya utamanya
yang berjudul Course
de Philosophie Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842), yang diterbitkan dalam enam jilid (Achmadi,
1997).
Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte bermaksud
memberi peringatan kepada para
ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase
teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis (tahapan
agama dan ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa
adikodrati yang mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur
alam ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga periode: animisme, politeisme dan monoteisme. Pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan. Selanjutnya pada zaman
metafisis (tahapan filsafat), kuasa adikodrati
tersebut telah digantikan oleh konsep- konsep abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’. Pada fase ini manusia menjelaskan fenomena-fenomena dengan
pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden,
esensi dan eksistensi. Dan akhirnya pada masa positif
(tahap positivisme) manusia
telah membatasi diri pada fakta yang tersaji
dan
menetapkan hubungan
antar fakta tersebut
atas dasar observasi
dan kemampuan rasio. Pada tahap ini manusia
menafikan semua bentuk
tafsir agama dan tinjauan
filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena
(Ahmad 2009).
3.3.2 PENGERTIAN POSITIVISME
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif disini sama artinya
dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut
positivisme, pengetahuan kita tidak
pernah boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Oleh karena itu, filsafat pun
harus meneladani contoh tersebut. Maka dari itu, positivisme menolak cabang filsafat
metafisika. Menanyakan “hakikat”
benda-benda, atau “penyebab
yang sebenarnya”, termasuk
juga filsafat, hanya
menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta- fakta (Praja,
2005).
Jadi, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu
alam sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas
yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak mengenal adanya
spekulasi, semua harus didasarkan pada data empiris.
Positivisme dianggap bisa memberikan sebuah kunci pencapaian hidup manusia dan ia dikatakan
merupakan satu-satunya formasi
sosial yang benar-benar bisa dipercaya kehandalan dan dan akurasinya dalam kehidupan dan keberadaan masyarakat.
Comte sering disebut
“Bapak Positivisme“ karena aliran filsafat
yang didirikannya tersebut.
Positivisme adalah nyata, bukan khayalan.
Ia menolak metafisika dan teologik. Jadi menurutnya ilmu pengetahuan harus
nyata dan bermanfaat serta diarahkan
untuk mencapai kemajuan. Positivisme merupakan
suatu paham yang berkembang dengan sangat cepat,
ia tidak hanya menjadi
sekedar aliran filsafat tapi juga telah menjadi agama humanis modern.
Positivisme telah menjadi
agama dogmatis karena ia telah melembagakan pandangan dunianya menjadi doktrin bagi
ilmu pengetahuan. Pandangan dunia yang
dianut oleh positivisme adalah pandangan dunia objektivistik. Pandangan dunia objektivistik adalah pandangan dunia
yang menyatakan bahwa objek-objek fisik
hadir independen dari mental dan menghadirkan properti- properti mereka secara langsung melalui data indrawi.
Realitas dengan data indrawi adalah satu. Apa yang dilihat adalah realitas sebagaimana adanya. Seeing is believing
(Syaebani, 2008).
Tugas khusus filsafat menurut aliran ini adalah mengoordinasikan
ilmu-ilmu pengetahuan yang beraneka
ragam coraknya. Tentu saja maksud positivisme
berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme.
Positivisme pun mengutamakan pengalaman. Hanya saja berbeda
dengan empirisme Inggris
yang menerima pengalaman batiniah atau subjektif
sebagai sumber pengetahuan, positivisme tidak menerimanya.
Ia hanya ,mengandalkan pada fakta-fakta.
Menurut Ahmad (2009),
Tujuan utama yang ingin dicapai oleh positivisme adalah membebaskan ilmu dari kekangan filsafat (metafisika).
Menurut Ernst, ilmu hendaknya dijauhkan
dari tafisran-tafsiran metafisis
yang merusak obyektifitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafisran metafisis dari ilmu, para ilmuwan hanya akan menjadikan fakta yang
dapat ditangkap dengan indera untuk menghukumi segala sesuatu. Hal ini
sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat.
Menurut positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu yang ada di alam. Tugas filsafat adalah memberi
penjelasan logis terhadap pemikiran. Oleh karena itu filsafat
bukanlah teori. Filsafat adalah aktifitas. Filsafat tidak menghasil proposisi-proposisi filosofis, tapi yang dihasilkan oleh filsafat adalah
penjelasan terhadap proposisi-proposisi.
Alasan yang digunakan oleh positivisme dalam membatasi tugas
filsafat di atas adalah karena filsafat
bukanlah ilmu. Kata filsafat hendaklah
diartikan sebagai sesuatu
yang lebih tinggi atau lebih rendah dari ilmu-ilmu eksakta.
Penjelasan dari hal ini adalah bahwa tugas utama dari ilmu adalah
memberi tafsiran terhadap materi yang
menjadi obyek ilmu tersebut. Tugas dari ilmu-ilmu eksakta adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang
terjadi di alam dan sebab-sebab terjadinya.
Sementara tugas ilmu-ilmu sosial adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi pada manusia, baik sebagai individu
maupun masyarakat. Dan karena semua obyek pengetahuan—baik yang berhubungan dengan alam maupun yang berhubungan dengan
manusia— sudah ditafsirkan oleh
masing-masing ilmu yang berhubungan dengannya, maka tidak ada lagi obyek yang perlu ditafsirkan oleh filsafat. Oleh
karena itulah dapat disimpulkan bahwa
filsafat bukanlah ilmu.
3.3.3 PERKEMBANGAN POSITIVISME
Auguste Comte dilahirkan pada tahun 1798 di
kota Monpellir Perancis Selatan. Ayah
dan ibunya menjadi pegawai kerajaan dan merupakan penganut agama Katolik yang cukup tekun. Ia menikah
dengan seorang pelacur bernama Caroline Massin yang kemudian
dia menyesali perkawinan itu. Dia pernah mengatakan bahwa perkawinan itu adalah satu-satunya kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dari kecil
pemikiran-pemikiran Comte sudah mulai kelihatan, kemudian setelah ia menyelesaikan sekolahnya pada jurusan
politeknik di Paris 1814-1816, dia diangkat menjadi
sekretaris oleh Saint Simon yaitu seorang pemikir
yang dalam merespon
dampak negatif renaissance menolak untuk kembali
pada abad pertengahan akan tetapi harus direspon dengan menggunakan basis intelektual baru, yaitu dengan berfikir empirik
dalam mengkaji persoalan-persoalan realitas sosial. Pergulatan intelektual dengan
Saint Simon inilah yang kemudian membuat
pola fikir Comte berkembang. Karena ketidak cocokan Comte dengan Saint
Simon akhirnya ia memisahkan diri dan
kemudian Comte menulis sebuah buku yang berjudul “System of Positive Politics, Sistem
Politik Positif” tahun 1824. Berawal dari pemikiran Plato dan Aristoteles, Comte mencoba
menggabungkannya menjadi positivistik (Purwanto, 2008).
Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme yaitu:
1.
Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi (positivisme sosial dan evolusioner),
walaupun perhatiannya juga diberikan pada
teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya
Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill
dan Spencer.
2.
Munculnya tahap kedua dalam
positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius (positivisme kritis). Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang
obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang
bergabung dengan subyektivisme. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan
dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick,
Frank, dan lain-lain
(positivisme logis). Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin.
Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti
atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur
penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
3.3.4
CIRI-CIRI POSITIVISME
Ciri-ciri Positivisme antara
lain:
1.
Objektif/bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil
jarak dari realitas dengan bersikap bebas nilai. Hanya melalui
fakta-fakta yang teramati
dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin
dari realitas (korespondensi).
2.
Fenomenalisme, tesis bahwa realitas
terdiri dari impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang
realitas berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang
gejala- gejala penampakan ditolak
(antimetafisika)
3.
Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas
partikularlah yang nyata.
4.
Reduksionisme, realitas
direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati.
5.
Naturalisme,
tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memiliki
strukturnya sendiri dan
mengasalkan strukturnya sendiri.
6. Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip- prinsip yang dapat digunakan untuk
menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem mekanis).
Alam semesta diibaratkan sebagai giant
clock work (Syaebani, 2008).
3.3.5
IMPLEMENTASI FILSAFAT
POSITIVISME
Salah satu cita-cita bangsa Indonesia ialah menciptakan
generasi-generasi penerus bangsa yang
tidak hanya cerdas dari segi kognitif saja melainkan juga cerdas secara emosi dan spriritual melalui bidang pendidikan.
Melalui filsafat positivisme, pendidikan diarahkan kepada hal baik
dalam segi intelektual dan berbagai
bidang kehidupan untuk menciptakan anak didik
yang sempurna baik lahir maupun batinnya. Peserta
didik diasah dalam
kemampuannya
melihat, menemukan fakta-fakta, menganalisis sesuatu, serta mentransfer ilmu kepada lingkungannya. sehingga diharapkan dapat terbentuknya
anak bangsa yang kreatif, berkarakter, serta mampu berkontribusi dalam pembangunan bangsa agar lebih baik dan mampu bersaing
dengan negara asing.
3.3.6 FUNGSI FILSAFAT POSITIVISME
Berdasarkan
uraian pada bagian terdahulu kiranya dapat dikatakan mengenai, fungsi filsafat positivisme yaitu.
1. Perkembangan yang diberi konotasi sebagai
kemajuan memberikan makna bahwa positivisme telah mempertebal optimisme. Hal tersebut melahirkan pengetahuan yang positif yang terlepas dari pengaruh-pengaruh spekulatif, atau dari hukum-hukum yang umum. Berkat pandangan positivisme orang'tidak sekedar menghimpun
fakta, tapi ia berupaya meramal
masa depan, yang antara
lain turut mendorong
perkembangan teknologi
2. Kemajuan dalam bidang fisik telah menimbulkan
berbagai implikasi
dalam segi kehidupan.
Dengan kata lain, fungsi filsafat
positivisme ini berperan
sebagai pendorong timbulnya
perkembangan dan kemajuan
yang dirasakan sebagai kebutuhan.
3. Dengan adanya penekanan dari filsafat
positivisme terhadap segi rasional
ilmiah, maka berfungsi pula kemampuannya untuk
menerangkan kenyataan, sedimikian rupa hingga keyakinannya akan kebenaran semakin
terbuka.
3.3.7
KELEBIHAN DAN KELEMAHAN POSITIVISME
Asumsi pokok teorinya
adalah satu teori harus di uji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaranya dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai
penolakannya
atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya
tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan
menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah
menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang dikritik
oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang
metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan
belaka, dan mustahil dapat
menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan
adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku
dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran
yang dipakai oleh positivisme logis
adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak
mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang
benar dan berlaku, karena kelemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga
kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan
tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka
penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.
Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan
terpisah dari teori sebenarnya tidak ada,
karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang
dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar
secara mutlak.
Dari deskriptif ringkas di atas mengenai positivisme, maka
sebenarnya positivisme mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan, yaitu antara lain.
a. Kelebihan Positivisme
·
Positivisme
lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini jauh lebih tinggi
dari pada kedua faham tersebut.
·
Hasil dari rangkaian tahapan
yang ada didalamnya, maka akan menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia
akan mempu menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid.
·
Dengan kemajuan
dan dengan semangat
optimisme, orang akan didorong untuk bertindak aktif dan kreatif,
dalam artian tidak hanya terbatas
menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya.
·
Positivisme
telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi.
·
Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun keyakinan ontologik
yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya
b.
Kelemahan Positivisme
·
Analisis
biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai
akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia
tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.
·
Akibat
dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan
mengakibatkan banyaknya manusia yang
nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam
ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini
ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
·
Manusia
akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan
kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal
itu dinafikan.
·
Hanya
berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.
·
Positivisme pada kenyataannya menitik
beratkan pada sesuatu
yang nampak yang dapat
dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui
bahwa panca indera manusia adalah
terbatas dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya
terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak
dapat dijadikan bahan kajian.
·
Hukum
tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan
lincar – seakan setiap tahapan sejarah evolusi
merupakan batu pijakan
untuk mencapai tahapan
berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai
masyarakat positivistic
3.3.8
Tokoh-tokoh Positivisme
1.
Auguste Comte (
1798 – 1857 )
Bernama lengkap Isidore Marrie Auguste Francois Xavier Comte, lahir
di Montepellier, Perancis (1798).
Keluarganya beragama khatolik yanga berdarah
bangsawan. Dia mendapat pendidikan di Ecole Polytechnique di Paris dan
lama hidup disana. Dikalangan
teman-temannya Auguste Comte adalah mahasiswa
yang keras kepala
dan suka memberontak, yang meninggalkan Ecole sesudah
seorang
mahasiswa yang memberontak dalam mendukung Napoleon dipecat. Auguste
Comte memulai karier professionalnya dengan memberi les dalam bidang Matematika. Walaupun
demikian, perhatian yang sebenarnya adalah
pada masalah-masalah kemanusiaan dan sosial. Tahun 1844, dua tahun
setelah dia menyelesaikan enam jilid
karya besarnya yang berjudul “Clothilde Course of Positive Philosophy”. Comte bertemu dengan Clothilde de Vaux, seorang
ibu yang mengubah
kehidupan Comte. Dia berumur beberapa tahun lebih muda dari pada Comte. Wanita tersebut sedang
ditinggalkan suaminya ketika bertemu dengan
Comte pertama kalinya, Comte langsung mengetahui bahwa perempuan itu bukan sekedar perempuan. Sayangnya
Clothilde de Vaux tidal terlalu meluap- luap
seperti Comte. Walaupun saling berkirim surat cinta beberapa kali, Clothilde de Vaux menganggap hubungan itu adalah
persaudaraan saja. Akhirnya, dalam suratnya
Chlothilde de Vaux menerima menjalin keprihatinan akan kesehatan mental Comte. Hubungan intim suami isteri
rupanya tidak jadi terlaksana, tetapi perasaan
mesra sering diteruskan lewat surat menyurat. Namun, romantika ini tidak berlangsung lama, Chlothilde de Vaux
mengidap penyakit TBC dan hanya beberapa
bulan sesudah bertemu dengan Comte, dia meninggal. Kehidupan Comte lalu bergoncang, dia bersumpah membaktikan hidupnya untuk mengenang “bidadarinya” itu. Auguste Comte
juga memiliki pemikiran Altruisme. Altruisme
merupakan ajaran Comte sebagai kelanjutan dari ajarannya tentang tiga zaman. Altruisme diartikan sebagai
“menyerahkan diri kepada keseluruhan masyarakat”. Bahkan,
bukan “salah satu masyarakat”, melainkan
“humanite” suku bangsa
manusia” pada umumnya. Jadi, Altruisme bukan sekedar lawan “egoisme”(Juhaya S. Pradja, 2000 : 91).
Keteraturan masyarakat yang dicari dalam
positivisme hanya dapat dicapai kalau semua orang dapat menerima
altruisme sebagai prinsip dalam tindakan mereka. Sehubungan dengan
altruisme ini, Comte menganggap bangsa
manusia menjadi semacam
pengganti Tuhan.
Kailahan
baru dan positivisme ini disebut Le Grand Eire “Maha Makhluk” dalam hal ini Comte mengusulkan untuk
mengorganisasikan semacam kebaktian untuk If
Grand Eire itu lengkap dengan imam-imam, santo-santo, pesta-pesta
liturgi, dan lain-lain. Ini
sebenarnya dapat dikatakan sebagai “Suatu agama Katholik tanpa agma Masehi”. Dogma satu-satunya agama ini adalah cinta
kasih sebagai prinsip, tata tertib sebagai
dasar, kemajuan sebagai
tujuan. Perlu diketahui bahwa ketiga tahap atau zaman tersebutdi atas menurut Comte
tidak hanya berlaku bagi perkembangan
rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi perkembangan perorangan. Misalnya sebagai kanak-kanak
seorang teolog adalah seorang
positivis.
2.
John Stuart Mill ( 1806 – 1873 )
Adalah seorang filsuf Inggris, ekonom politik dan pegawai negeri
sipil. Dia adalah seorang
kontributor berpengaruh untuk teori sosial,
teori politik dan ekonomi politik.
Lahir :
20 Mei 1806, Pentonville, London Meninggal : 8 Mei 1873, Avignon, Prancis Pasangan :
Harriet Taylor Mill (. M 1851-1858) Pendidikan : University College
London
Orangtua : James Mill, Harriet
Burrow
Ia
adalah seorang filosof Inggris yang
menggunakan sistem positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan. John Stuart Mill memberikan landasan
psikologis terhadap filsafat
positivisme. Karena psikologi
merupakan pengetahuan dasar bagi filsafat.
Seperti halnya dengan kaum positif,
Mill mengakui bahwa satu-satunya yang menjadi sumber pengetahuan ialah pengalaman.
Karena itu induksi merupakan metode yang paling dipercaya dalam ilmu pengetahuan.
3. H. Taine ( 1828 – 1893 )
Adalah seorang kritikus Perancis dan sejarawan. Dia adalah pengaruh teoritis
kepala naturalisme Perancis,
pendukung utama positivisme sosiologis dan salah satu praktisi pertama
kritik historis. Ia mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik,
dan kesastraan.
Lahir :
21 April 1828, Vouziers, Prancis Meninggal : 5 Maret 1893, Paris, Prancis Pendidikan :
École Normale Supérieure
4. Emile Durkheim (1852 –
1917 )
David Émile Durkheim adalah seorang sosiolog Perancis, psikolog
sosial dan filsuf. Ia secara resmi
mendirikan disiplin akademis dan, dengan Karl Marx dan Max Weber,
yang sering dikutip sebagai kepala
sekolah.
Lahir : 15 April 1858, Épinal,
Prancis Meninggal : 15
November 1917, Paris,
Prancis
Pendidikan : Lycée Louis-le-Grand, École Normale Supérieure, Universitas Leipzig
Ia menganggap positivisme sebagai asas sosiologi.
3.4 POST POSITIVISME
3.4.1 Pengertian Filsafat
Post Positivsme
Post positivisme merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan- kelemahan
positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan
pengamatan langsung terhadap
objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism
yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan, sesuai
dengan
hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil
bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia
(peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui
observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti
dan teori.
Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah
positivism dan memang amat dekat
dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih
mempercayai proses verifikasi
terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode.
Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai
objektivitas apabila telah
diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara. Oleh karena
itu dalam makalah ini akan membahas tentang pembahasan verifikasi secara
mendalam.
Guba (1990:20) menjelaskan Post-positivisme sebagai berikut:
“Postpositivism is best characterized as modified version of positivism.
Having assessed the damage that positivism
has occured, postpositivists strunggle to limited that damage as well as to adjust to it. Prediction and control continue
to be the aim.” Inti dari
pernyataan yang berbahasa asing tersebut yakni, post- positivisme merupakan perbaikan dari paradigma sebelumnya yakni
positivisme. Aliran post-positivisme
merupakan aliran yang datang setelah positivisme, jadi wajar bila ada kesamaan dalam aliran tersebut. Positivisme dan
post-positivisme sama-sama sepakat
bahwa realitas itu benar-benar nyata dan sesuai dengan hukum alam. Namun, post-positivisme beranggapan bahwa manusia
tidak akan mendapat kebenaran dari
sebuah realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat langsung dengan realitas. Jadi
peneliti memerlukan hubungan interaktif dengan realitas dengan menggunakan berbagai
macam metode, sumber data, dan lain sebagainya .
3.4.2 Asumsi Dasar Post-Positivsme
a.
Fakta tidak
bebas nilai, melainkan
bermuatan teori.
b.
Falibilitas
Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris,
bukti empiris memiliki
kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.
c. Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
d.
Interaksi
antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase objektif melainkan hasil
interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan
persoalan dan senantiasa berubah.
e.
Asumsi dasar
post-positivisme tentang
realitas adalah jamak individual.
f.
Hal
itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut
unit tindakan yang bersangkutan.
g.
Fokus
kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai
ekspresi dari sebuah keputusan.
3.4.3
Perkembangan Awal Post positivisme
Paradigma ini merupakan
aliran yang ingin memperbaiki kelemahan- kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.Secara ontologis aliran
ini bersifat critical realism yang
memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang
mustahil bila suatu realitas dapat dilihat
secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus
menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode,
sumber data, peneliti dan teori.
Secara epistemologis, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah
bisa dipisahkan, seperti yang diusulkan oleh aliran positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin
mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang
layar tanpa ikut terlibat dengan
objek secara langsung.
Lahirnya paradigma post-positivisme diawali oleh gugatan
terhadap positivisme yang dimulai antara tahun 1970-1980. Post-positivisme sendiri merupakan
perbaikan dari positivisme yang dianggap mempunyai
berbagai macam kelemahan.
Kemudian alasan utama paham post-positivisme menentang terhadap positivisme yakni tidak
mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia
dengan ilmu alam, karena tindakan
manusia tidak bisa diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia
selalu berubah. Contohnya
pada kehidupan sehari-hari, kecenderungan orang memilih
kendaraan. Jika sepeda motor bertransmisi manual cocok digunakan untuk
laki- laki dan sepeda motor automatic
cocok digunakan oleh perempuan. Maka belum tentu
semua laki-laki menggunakan sepeda motor manual dan belum tentu pula semua wanita menggunakan sepeda motor
automatic. Terkadang laki-laki ada yang lebih suka menggunakan matic dan perempuan
menggunakan sepeda manual. Itulah contoh kecil dari
tindakan manusia yang tidak dapat diprediksi
maupun dapat berubah-ubah.
3.4.4
Posisi Aliran Postpositivisme
Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme empat
pertanyaan dasar berikut, akan
memberikan gambaran tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan.
a.
Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma- paradigma ilmu yang lain? Apakah
ini merupakan bentuk
lain dari positivisme
yang
posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Harus
diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma
positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap
suatu temuan hasil observasi
melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektifitas apabila telah
diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan
berbagai cara.
b.
Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma
realisme yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak
seluruhnya benar. Pandangan awal
aliran positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme modern
bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan
postpositivisme.
c.
Banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut
realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya
sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk
realitas mereka sendiri?
Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia
ilmu. Yang pasti postpositivisme mengakui
bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap
bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan
realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik
dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat
dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang
suatu objek oleh anggotanya.
d.
Karena pandangan
bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria
objektivitas? Pandangan
ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan.
Jika kita menolak prinsip ini, maka
tidak ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.
3.4.5
Implementasi filsafat
Pospositivisme
Dalam pendidikan Indonesia Pospositivisme adalah suatu pergerakan
ide yang menggantikan ide-ide
positivime. Post positivisme memiliki cita-cita, ingin meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial, kesadaran akan
peristiwa sejarah dan perkembangan
dalam bidang pendidikan. Filsafat Pospositivisme mengarahkan agar pendidikan tidak hanya dari kejadian
atau hal-hal yang dapat dibuktikan secara
empiris atau dapat dilihat melainkan menggabungkan antara yang dilihat dan dirasakan.
Contoh: pendidikan berkarakter itu akan berjalan dengan baik dan memberikan dampak yang positip,
dilihat bukan hanya dari materi dalam pembelajaran melainkan
ada juga dari perilaku dari guru, keluarga,
dan lingkungan serta emosi anak
3.4.5 Tokoh-tokoh postpositivisme
Memiliki nama lengkap Karl Raimund Popper, lahir di Vienna Austria
pada tanggal 28 Juli 1902 yang berlatar
belakang keluarga Yahudi Protestan. Kemudian beristirahat dengan tenang
diusinya yang ke 92 tahun tepatnya di London
Inggris pada tanggal 17 September 1994. Merupakan salah satu dari sekian banyak
filsuf ilmu dan pakar dalam bidang psikologi
belajar. Popper dikenal
dengan gagasan falsifikasi- sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmu.[
Dalam pemikirannya mengenai prinsip metodologi ilmu yaitu dia
menolak metode induksi yang kenyataannya bersifat valid. Menurut Popper, daripada bersusah payah mencari fakta-fakta membenarkan, ilmuwan lebih baik menggunakan waktunya untuk mencari fakta
anomaly atau yang menyimpang. Misalkan
pernyataan mengenai semua burung gagak berwarna hitam. Secara premis, pernyataan tersebut benar. Namun secara logis pernyataan tersebut salah,
karena belum ada jaminan logis bahwa gagak yang diobservasi kemudian tidak ada yang berwana coklat atau putih.
Jika hal ini terbukti mana kesimpulan semua gagak hitam itu salah.
Pandangan rasionalistis beranggapan bahwa suatu teori baru akan diterima
kalau sudah terbukti bahwa ia dapat meruntuhkan teori lama yang ada sebelumnya. Pengujian teori tersebut
menggunakan suatu tes empiris.
2.
Thomas khun
Nama lengkapnya adalah Thomas Samuel Khun, beliau lahir pada tanggal
18 Juli 1922 dan menghembuskan nafas terakhir diusianya yang ke 73 tahun tepatnya pada 17 Juni 1996. Dia seorang filusuf, fisikawan dan sejarawan Amerika Serikat. Kuhn mempercayai bahwa
ilmu pengetahuan memiliki periode pengumpulan
data dalam sebuah paradigma. Revolusi kemudian terjadi setelah sebuah paradigma menjadi
dewasa. Paradigma mampu mengatasi penyimpangan, namun demikian ketika banyak penyimpangan-penyimpangan yang mengganggu yang mengancam acuan
disiplin maka paradigm tidak bisa dipertahankan
lagi. Ketika sebuah paradigma tidak dapat dipertahankan lagi, maka seorang ilmuan boleh berpindah ke paradigma baru. Ketika berada pada
periode pengumpulan data maka ilmu pengetahuan mengalami
apa yang dikatakan perkembangan ilmu biasa. Dalam
perkembangan ilmu biasa, sebuah ilmu pengetahuan mengalami perkembangan. Ketika paradigm mengalami
pergeseran, maka itulah yang disebut dengan revolusioner. Ilmu dalam
tahap biasa bisa dikatakan sebagai
pengumpulan yang semakin banyak dari solusi Puzzle.
Sedangkan pada tahap revolusi ilmiah terhadap revisi dari kepercayaan ilmiah atau praktek.
3. 5. EMPIRISME
3.5.1 Pengertian Empirisme
Beberapa pemahaman tentang pengertian empirisme cukup beragam, namun intinya adalah pengalaman.
Di antara pemahaman tersebut
antara lain:
Empirisme adalah
suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal
dari pengalaman manusia.
Empirisme menolak anggapan
bahwa manusia telah membawa
fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di
Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.
Empirisme secara etimologis berasal dari
kata
bahasa
Inggris empiricism dan experience.Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani
έμπειρία (empeiria) yang berarti pengalaman Sementara menurut
A.R. Laceyberdasarkan akar katanya Empirisme
adalah aliran dalam filsafat yangberpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkankepada pengalaman yang menggunakan indera.
Para penganut aliran empiris dalam berfilsafat bertolak belakang
dengan para penganut aliran
rasionalisme. Mereka menentang pendapat-pendapat para penganut rasionalisme yang didasarkan atas kepastian-kepastian yang bersifat
apriori.
Menurut pendapat penganut empirisme, metode ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori tetapi
posteriori, yaitu metode yang berdasarkan atas
hal-hal yang datang,
terjadinya atau adanya
kemudian.
Bagi penganut empirisme sumber pengetahuan yang memadai itu adalah pengalaman. Yang dimaksud dengan pengalaman disini adalah pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman bathin yang
menyangkut pribadi manusia. Sedangkan
akal manusia hanya berfungsi dan bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan atau data yang diperoleh melalui
pengalaman.
3.5.2
Ajaran-ajaran pokok Empirisme
a.
Pandangan bahwa semua ide atau gagasan
merupakan abstraksi yang dibentuk dengan
menggabungkan apa yang dialami.
b.
Pengalaman
inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
c. Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
d.
Semua
pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari data inderawi (kecuali
beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).
e.
Akal
budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan
penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat
tugas untuk mengolah
bahan bahan yang di peroleh
dari pengalaman.
f.
Empirisme sebagai
filsafat pengalaman, mengakui
bahwa pengalaman sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan.
3.5.3
Jenis-jenis Emperisme
1.
Empirio-Kritisisme
Disebut juga Machisme. Sebuah aliran filsafat yang bersifat
subyaktif- idealistik. Aliran ini
didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian apriori. Sebagai
gantinya aliran ini mengajukan konsep
dunia sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley
dan Hume tatapi secara sembunyi- sembunyi,
karena dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran ini juga anti metafisik.
2.
Empirisme Logis
Analisis
logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis
berpegang pada pandangan-pandangan berikut:
a)
Ada
batas-batas bagi Empirisme. Prinsip system logika formal dan prinsip kesimpulan induktif tidak dapat dibuktikan dengan
mengacu pada pengalaman.
b)
Semua proposisi
yang benar dapat dijabarkan (direduksikan) pada proposisi-proposisi
mengenai data inderawi yang kurang lebih merupakan data indera yang ada seketika
c)
Pertanyaan-pertanyaan
mengenai hakikat kenyataan yang terdalam pada
dasarnya tidak mengandung makna.
3.
Empiris Radikal
Suatu
aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak
dapat dilacak secara demikian itu, dianggap bukan pengetahuan. Soal kemungkinan melawan
kepastian atau masalah
kekeliruan melawan kebenaran
telah menimbulkan banyak pertentangan
dalam filsafat. Ada pihak yang belum dapat menerima pernyataan bahwa penyelidikan empiris
hanya dapa memberikan kepada kita suatu
pengetahuan yang belum pasti (Probable). Mereka mengatakan bahwa pernyataan- pernyataan empiris, dapat diterima
sebagai pasti jika tidak ada kemungkinan
untuk mengujinya lebih lanjut dan dengan begitu tak ada dasar untuk keraguan. Dalam situasi semacam
ini, kita tidak hanya berkata:
Aku merasa yakin (I feel certain), tetapi aku yakin. Kelompok falibisme
akan menjawab bahwa: tak ada pernyataan empiris
yang pasti karena terdapat sejumlah tak terbatas data inderawi untuk
setiap benda, dan bukti-bukti tidak dapat ditimba sampai
habis sama sekali.
Metode filsafat
ini butuh dukungan
metode filsafat lainnya
supaya ia lebih berkembang
secara ilmiah. Karena ada kelemahan-kelemahan yang hanya bisa ditutupi oleh metode filsafat lainnya.
Perkawinan antara Rasionalisme dengan Empirisme
ini dapat digambarkan dalam metode ilmiah dengan langkah-langkah berupa perumusan masalah,
penyusunan kerangka berpikir,
penyusunan hipotesis, pengujian
hipotesis dan penarikan kesimpulan.
3.5.4. Tokoh-tokoh Empirisme
Aliran
empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi
pada dua tokoh berikutnya, John Locke dan David Hume.
a. Jonh
Locke (1673-1704)
Ia lahir tahun 1632 di
Bristol Inggris dan wafat tahun 1704 di Oates
Inggris. Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan kedokteran. Pemikiran John
termuat dalam tiga buku pentingnya
yaitu essay concerning human understanding, terbit tahun 1600; letters on tolerantion terbit tahun 1689-1692; dan
two treatises on government, terbit tahun 1690. Aliran ini muncul sebagai
reaksi terhadap aliran
rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah rasio, maka menurut empiris,
dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh
melalui panca indera.
Dengan ungkapan singkat
Locke :
Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang
masih putih, baru melalui pengalamanlah kertas
itu terisi.
Dengan
demikian dia menyamakan pengalaman batiniah (yang bersumber dari akal budi) dengan
pengalaman lahiriah (yang bersumber dari empiri).
b. David
Hume (1711-1776).
David Hume lahir di Edinburg Scotland tahun 1711 dan wafat tahun
1776 di kota yang sama. Hume seorang
nyang menguasai hukum, sastra dan juga filsafat.
Karya tepentingnya ialah an encuiry concercing humen understanding, terbit tahun 1748 dan an encuiry into the
principles of moral yang terbit tahun 1751.
Pemikiran empirisnya terakumulasi dalam ungkapannya yang singkat
yaitu
I
never catch my self at any time with out a perception (saya selalu memiliki
persepsi pada setiap pengalaman saya). Dari ungkapan
ini Hume menyampaikan bahwa seluruh pemikiran
dan pengalaman tersusun
dari rangkaian-rangkaian kesan (impression). Pemikiran
ini lebih maju selangkah dalam merumuskan bagaimana
sesuatu pengetahuan terangkai
dari pengalaman, yaitu melalui
suatu institusi dalam diri manusia (impression, atau kesan yang disistematiskan ) dan kemudian
menjadi pengetahuan. Di samping itu pemikiran Hume ini merupakan
usaha analisias agar empirisme dapat di
rasionalkan teutama dalam pemunculan ilmu pengetahuan
yang di dasarkan pada pengamatan “(observasi ) dan uji coba (eksperimentasi), kemudian
menimbulkan kesan-kesan, kemudian
pengertian-pengertian dan akhirnya
pengetahuan.
Empirisme menganjurkan agar kita kembali
kepada kenyataan yang sebenarnya
(alam) untuk mendapatkan pengetahuan, karena kebenaran tidak ada secara apriori di benak kita melainkan
harus diperoleh dari pengalaman. Melalui
pandangannya, pengetahuan yang hanya dianggap valid adalah bentuk yang dihasilkan oleh fungsi pancaindra selain daripadanya adalah bukan kebenaran (baca omong kosong). Dan mereka
berpendapat bahwa tidak dapat dibuat
sebuah klaim (pengetahuan) atas perkara dibalik penampakan (noumena) baik melalui pengalaman faktual maupun
prinsip-prinsip keniscayaan. Artinya dimensi
pengetahuan hanya sebatas
persentuhan alam dengan pancaindra, diluar perkara-perkara pengalaman yang
dapat tercerap secara fisik adalah tidak valid dan tidak dapat diketahui dan tidak dianggap
keabsahan sumbernya.
Usaha manusia untuk mencari pengetahuan yang bersifat, mutlak dan pasti telah berlangsung dengan penuh
semangat dan terus-menerus. Walaupun begitu,
paling tidak sejak zaman Aristoteles, terdapat tradisi epistemologi yang kuat untuk mendasarkan din kepada
pengalaman manusia, dan meninggalkan cita-cita
untuk mencari pengetahuan yang mutlak tersebut. Doktrin empirisme merupakan
contoh dan tradisi ini. Kaum empiris berdalil bahwa adalah tidak beralasan
untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup
semua segi, apalagi
bila di dekat kita, terdapat
kekuatan yang dapat dikuasai untuk rneningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun
bersifat lebih lambat
namun lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan
sebuah sistern pengetahuan yang rnempunyai peluang yang besar untuk benar,
meskipun kepastian mutlak takkan pernah dapat
dijamin.
Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika
kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang
empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata “Tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai
fakta maka dia harus diyakinkan oleh pengalamannya
sendiri. Jika kita meng takan kepada dia bahwa ada seekor harimau
di kamar mandinya,
pertama dia minta kita untuk menceriterakan bagairnana kita sampai pada kesimpulan itu. Jika kemudian
kita terangkan bahwa kita melihat harimau itu dalam kamar
mandi, baru kaum empiris akan mau mendengar laporan
mengenai pengalaman kita itu, namun dia hanya akan menerima hal tersebutjika dia atau orang
lain dapat memeriksa kebenaran yang kita ajukan,
denganjalan melihat harimau
itu dengan mata kepalanya sendiri.
Dua aspek dan teori empiris terdapat
dalam contoh di atas tadi. Pertama adalah perbedaan antara yang mengetahui dan yang diketahui. Yang mengetahui adalah subyek dan benda yang diketahui adalah obyek. Terdapat
alam nyata yang terdiri dan fakta atau obyek yang dapat ditangkap oleh seseorang. Kedua,
kebenaran atau pengujian
kebenaran dan fakta
atau obyek didasarkan kepada pengalaman manusia.
Agar berarti bagi kaum empiris, maka pernyataan tentang ada atau tidak adanya sesuatu haruslah
memenuhi persyaratan pengujian publik.
3.5.5 KELEBIHAN DAN KELEMAHAN
EMPIRISME
1.
Kelebihan empirime
adalah pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang benar, karena faham empiris
mengedepankan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
2.
Sedangkan kelemahan
empirisme cukup banyak Prof. Dr. Ahmad Tafsir mengkritisi empirisme
atas empat kelemahan, sebagai berikut.
a.
Indra
terbatas. Benda yang jauh kelihatan kecil. Apakah benda itu kecil benda itu kecil? Tidak. Keterbatasan
kemampuan indera ini dapat melaporkan objek salah.
b.
Indera
menipu. Pada orang yang sakit malaria, gulara rasanya pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan
menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
c.
Objek yang menipu. Contohnya
ilusi, fatamorgana. Jadi, objek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia tangkap oleh alat indera;
ia membihongi indera.
Ini jleas dapat menimbulkan inderawi yang salah.
d.
Indera
dan objek sekaligus. Dalam hal ini indera (di sini mata) tidak mampu melihat
seekor kerbau secara keseluruhan, dan kerbau itu juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara
keseluruhan. Jika melihatnya dari depan, yang
kelihatan adalah kepala kerbau, dan kerbau pada saat itu memang tidak
mampu sekaligus memperlihatkan ekornya. Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia.
3.5.6 Implementasi bagi Perkembangan Studi Keilmuan
Empirisme memiliki andil yang besar dalam ilmu, yaitu dalam
pengembangan berpikir induktif. Dalam ilmu pengetahuan, sumbangan utama adalah lahirnya
ilmu pengetahuan modern dan penerapan
metode ilmiah untuk membangun
pengetahuan. Selain daripada
itu, tradisi empirisme
adalah fundamen yang mengawali
mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam konteks perdebatan apakah ilmu pengetahuan sosial itu berbeda
dengan ilmu alam.
Sejak saat itu empirisme menempati tempat yang terhormat dalam
metodologi ilmu pengertahuan sosial. Acapkali empirisme
di paralelkan dengan tradisi positivisme. Namun demikian keduanya
mewakili pemikiran filsafat ilmu yang berbeda. Sedangkan dalam Islam, Empirisme dalam Islam mempunyai
peran
penting
dalam pengembangan ilmu pengetahuan seperti ilmu Fiqh yang bebasis empiris, yaitu (ibadah mumalah), shalat, zakat,
puasa, dan haji. Empirisme lahir dan terjebak
kepada afirmasi rasio praksis dan menegasikan rasio murni sehingga
muncul dogmatisme empiris
sendiri, terlebih dengan membangun kecurigaan/ ketidakpercayaan/ menegasikan
(skeptisis) terhadap epistema yang lainnya telah banyak dianut oleh pendidikan
modern, inilah bukti kenaifannya.
Dampak epistemologis dari empirisme diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Terjadinya
pemisahan antara bidang sankral dan bidang duniawi, misalnya pemisahan antara agama dan negara, agama
dan politik, atau pemisahan materi dan ruh yang terwujud
dalam seorang ahli fisika atau ekonomi tidak akan berbicara
agama dalam karya ilmiah mereka,
sementara fisika dan ekonomi
direduksi menjadi angka-angka, materi dan ruh tampak tidak kompatebel di
mata mereka.
2.
Kecendrungan
kearah reduksionisme, materi dan benda direduksi kepada element-elemennya.
Ini tampak pada fisika Newton, sama halnya dengan homo ekonomi-kus dalam ekonomi modern. (dua hal ini pengaruh sejarah
rasionalisme empirisme).
3.
Pemisahan
antara subyektivitas dan obyektifitas, misalnya dalam ilmu sosial hal yang merupakan
debuku obyektif adalalah
keniscayaan yang mengarah
kepada relitas pasti, (pengaruh positivisme pengetahuan yang berujung
pada statusquo hinggga dominasi
kebenaran).
4.
Antroposentrisme, ini tampak dalam dalam konsep demokrasi dan individualisme
(ini merupakan pengaruh dari rasionalisme Rendescartes dengan jargon individu bebas atau subyek manusia
akan menjadi sentral peradaban dunia).
5.
Progresivisme,
progresivisme diwakili oleh Marx, tetapi juga diyakini secara luas seperti pada kemajuan ilmu pengetahuan dan obat-obatan.
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Munculnya filsafat pertama
kali ternyata bukanlah
dari Yunani. Berdasarkan pelacakan sejarah para ilmuwan ternyata
filsafat Yunanipun dipengaruhi oleh kebudayaan agama-gama yang berasal dari dunia Timur, terutama
dari Mesir, Babilonia, Mesopotamia. Selain itu, di bagian dunia lainnya juga berkembang filsafat,
seperti di India dan Cina.
Filsafat ilmu dengan berbagai macam paradigmanya merupakan sejarah jalan menuju perkembangan ilmu pengetahuan di masa kini. Pandangan konstruktif dibutuhkan untuk mengembangkan
ilmu dan pengetahuan dengan metode
apapun asalkan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam dunia Islam, paradigma konstruktivisme
merupakan tradisi pemikiran Islam sejak kemunculan Islam itu sendiri.
Idealisme menganggap, bahwa yang konkret hanyalah bayang-bayang, yang terdapat dalam akal pikiran manusia.
Kaum idealisme sering menyebutnya dengan ide atau gagasan.
Seorang realisme tidak menyetujui pandangan
tersebut. Kaum realisme berpendapat bahwa yang ada itu adalah yang
nyata, riil, empiris, bisa
dipegang, bisa diamati dan lain-lain. Dengan kata lain sesuatu yang nyata
adalah sesuatu yang bisa diindrakan
(bisa diterima oleh panca indra).
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani)
yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah
suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang
benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.
Dalam paham empirisme, pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan, baik pengalaman lahiriyah yang menyangkut dunia
maupun
pengalaman batiniyah
yang menyangkut pribadi
manusia. Pengalaman yang dimaksud
adalah pengalaman atauempiri melalui alat indera. Paham empirisme ini dipertentangkan dengan paham
rasionalisme yang mengatakan akal (rasio) sebagai sumber
pengetahuan.
Paradigma ini merupakan
aliran yang ingin memperbaiki kelemahan- kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran
ini bersifat critical realism yang
memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang
mustahil bila suatu realitas dapat dilihat
secara benar oleh manusia (peneliti).
DAFTAR PUSTAKA
Fuad Ihsan,
Filsafat Ilmu (Jakarta:
PT Rineka Cipta,
2010), 182
Juhaya S. Praja, Prof., Dr. 2003. Aliran-aliran Filsafat dan Etika Prenada Media:
Jakarta
Prof. Dr. Ahmad
Tafsir, Fislasat Umum, Remaja Rosda Karya, Bandung,
2003, hal.144.
Waris,
Filsafat Umum (Ponorogo: Stain Po Press, 2009), http://nuramaliyahramadhanyamelfadiliam.blogspot.co.id/2017/01/aliran
empirisme-dalam-pendidikan.html ( diakses
11 April 2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar