Kamis, 18 Januari 2024

FILSAFAT IDEALISME OBJEKTIF DAN EMPIRISISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA

 

MAKALAH

FILSAFAT IDEALISME OBJEKTIF DAN EMPIRISISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA

Diajukan Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah                                   

 

 

 

 

 

 

 

 

 


                                                   

Di susun oleh

1.      Herlina

2.      Nurhasanah

                                                           

 

Disusun oleh :

Nama               : SILVIANTI (202302100016

Nama               : nurhasiah      (202302100018

 

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

STKIP BABUNNAJAH

TAHUN AKADEMIK

2022/2023


 

Daftra isi

 


 

KATA PENGANTAR

 

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

 

 


 

BAB I PENDAHULUAN

 

 

1.1  Latar Belakang

 

Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya ilmu makin terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya. Filsafat memberi penjelasan atau jawaban substansial dan radikal atas masalah tersebut. Sementara ilmu terus mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal. Proses atau interaksi tersebut pada dasarnya merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh karena itu filsafat ilmu dapat dipandang sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak memandang ilmu sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.

Filsafat atau falsafat, berasal dari bahasa Yunani. Kalimat ini berasal dari kata philosophia yang berarti cinta pengetahuan. terdiri dari kata philos yang berarti cinta, senang, suka dan kata, sedangkan kaa Sophia berarti pengetahuan, hikmah, dan kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah cinta kepada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah dan kebiaksanaan.

Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu merupakan upaya pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu (Ilmu Pengetahuan/Sains), baik itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat ilmu bagi kehidupan manusia. Pengkajian tersebut tidak terlepas dari acuan pokok filsafat yang

 

 

 

1


tercakup dalam bidang ontologi, epistemologi, dan axiologi dengan berbagai pengembangan dan pendalaman yang dilakukan oleh para ahli.

Tak dapat dipungkiri, zaman filsafat modern telah dimulai, dalam era filsafat modern, dan kemudian dilanjutkan dengan filsafat abab ke- 20, munculnya berbagai aliran pemikiran, yaitu: Rasionalisme, Emperisme, Kritisisme, Idealisme, Positivisme, Evolusionisme, Materalisme, Neo- kantianisme, Pragmatisme, Filsafat Hidup, Fenomenologi, Eksistensialisme dan Neo-Thomisme. Namun didalam pembahasan kali ini yang akan dibahas aliran Empirisme (Francius Bacon, Thomas Hobbes. John lecke David Hume)

 

1.2  Rumusan Masalah

 

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya

 

adalah.

 

1.  Jelaskan Filsafat Pragmatisme

 

2.  jelaskan Filsafat Idealisme,

 

3.  Jelaskan filsafat Positivisme

 

4.  Jelaskan Post Positivisme

 

5.  Jelaskan Empirisme

 

1.3  Tujuan Penulisan

 

Tujuan penulisan makalah ini selain untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Filsafat Ilmu dan Islam, penulis juga ingin manambah wawasan tentang filsafat Idealisme, Empirisme, Paragmatisme , Positifisme dan Post Positifisme khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya, serta untuk mengatasi masalah- masalah yang terjadi disekitar kita terkait pembahasan ini .


BAB II TINJAUAN PUSTAKA

 

 

2.1 Cara Memperoleh Pengetahuan Sain

 

Pengalaman manusia sudah berkembang sejak lama. Yang dapat dicatat dengan baik ialah sejak tahun 600-an SM. Yang mula-mula timbul agaknya ialah pengetahuan filsafat dan hampir bersamaan dengan itu berkembang pula pengetahuan sain dan pengetahuan mistik.

Sejak zaman dahulu, manusia telah menginginkan adanya aturan untuk mengatur manusia. Tujuannya ialah agar manusia itu hidup teratur. Hidup teratur itu sudah menjadi kebutuhan manusia sejak dahulu. Untuk menjamin tegaknya kehidupan yang teratur itu diperlukan aturan.

Manusia juga perlu aturan untuk mengatur alam. Pengalaman manusia menunjukkan bila alam tidak diatur maka alam itu akan menyulitkan kehidupan manusia. Sementara itu manusia tidak mau dipersulit oleh alam. Bahkan sebaiknya – kalau dapat – manusia ingin alam itu mempermudah kehidupannya. Karena itu harus ada aturan untuk mengatur alam.

Bagaimana membuat aturan untuk mengatur manusia dalam alam? Siapa yang dapat membuat aturan itu? Orang Yunani Kuno sudah menemukan: manusia itulah yang membuat aturan itu. Humanisme mengatakan bahwa manusia mampu mengatur dirinya (manusia) dan alam. Jadi, manusia itulah yang harus membuat aturan untuk mengatur manusia dan alam.

Bagaimana membuatnya dan apa alatnya? Bila aturan itu dibuat berdasarkan agama atau mitos, maka akan sulit sekali menghasilkan aturan yang disepakati.


Pertama, mitos itu tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur manusia, dan kedua, mitos itu amat tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur alam. Kalau begitu, apa sumber aturan itu? Kalau dibuat berdasarkan agama? Kesulitannya ialah agama mana? Masing-masing agama menyatakan dirinya benar, yang lain salah. Jadi,

seandainya aturan itu dibuat berdasarkan agama maka akan banyak orang yang menolaknya. Padahal aturan itu seharusnya disepakati oleh semua orang. Begitulah kira-kira mereka berpikir.

Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada sesuatu yang ada pada manusia. Alat itu ialah akal. Mengapa akal? Pertama, karena akal dianggap mampu, kedua, karena akal pada setiap roang bekerja berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu ialah logika alami yang ada pada akal setiap manusia. Akal itulah alat dan sumber yang paling dapat disepakati. Maka, Humanisme melahirkan Rasionalisme.

Kalau begitu diperlukan alat lain. Alat itu ialah Empirisme Empirisisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan ada bukti empiris.

Nah, dalam hal anak panah tadi, menurut Empirisisme yang benar adalah bergerak, sebab secara empiris dapat dibuktikan bahwa anak panah itu bergerak. Coba saja perut Anda menghadang anak panah itu, perut anda akan tembus, benda yang menembus sesuatu haruslah benda yang bergerak. Ya, memang, sesuatu yang diam tidak akan mampu menembus. Logis juga.Nah dengan Empirisisme inilah aturan (untuk mengatur manusia dan alam) itu dibuat. Tetapi


nanti dulu, ternyata Empirisisme masih memiliki kekurangan. Kekurangan Empirisisme ialah karena ia belum terukur. Empirisisme hanya sampai pada konsep-konsep yang umum. Kata Empirisisme, air kopi yang baru diseduh ini panas, nyala api ini lebih panas, besi yang mendidih ini sangat panas. Kata Empirisisme, kelereng ini kecil, bulan lebih besar, bumi lebih besar lagi, matahari sangat besar. Demikianlah seterusnya. Empirisisme hanya menemukan konsep yang sifatnya umum. Konsep itu belum operasional, karena belum terukur. Jadi, masih diperlukan alat lain. Alat lain itu ialah Positivisme.

Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisme, yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting Positivisme. Jadi, hal panas tadi oleh Positivisme dikatakan air kopi ini 80 derajat celcius, air mendidih ini 100 derajat celcius, besi mendidih ini 1000 derajat celcius, ini satu meter panjangnya, ini satu ton beratnya, dan seterusnya. Ukuran-ukuran ini operasional, kuantitatif, tidak memungkinkan perbedaan pendapat. Sebagaimana Anda lihat, aturan untuk mengatur manusia dan aturan untuk mengatur alam yang kita miliki sekarang bersifat pasti dan rinci. Jadi, operasional. Bahkan dada dan pinggul sekarang ini ada ukurannya, katanya, ini dalam kerangka ukuran kecantikan. Dengan ukuran ini maka kontes kecantikan dapat dioperasikan. Kehidupan kita sekarang penuh oleh ukuran.

Positivisme sudah dapat disetujui untuk memulai upaya membuat aturan untuk mengatur manusia dan mengatur alam. Kata Positivisme, ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya yang terukur. Tetapi bagaimana caranya? Kita masih memerlukan alat lain.


BAB III PEMBAHASAN

 

 

3.1  PRAGMATISME

 

3.1.1  Sejarah Kemunculan Pragmatisme

 

Pragmatisme sebagai suatu gerakan dalam filsafat lahir pada akhir abad ke-19 di Amerika. Karena itu sering dikatakan bahwa pragmatisme merupakan sumbangan yang paling orisinal dari pemikiran Amerika terhadap perkembangan filsafat dunia. Pragmatisme dilahirkan dengan tujuan untuk menjebatani dua kecenderungan berbeda yang ada pada saat itu. Kedua kecenderungan yang mau dijembatani itu yakni, pertantangan yang terjadi antara “yang spekulatif” dan “yang praksis”. Tradisi pemikiran yang spekulatif bersumber dari warisan filsafat rasionalistik Descartes dan berkembang melalui idealisme kritis dari Kant, idealisme absolut Hegel serta sejumlah pemikir rasionalistik lainnya.[6] Warisan ini memberikan kepada rasio manusia kedudukan yang terhormat kerena memiliki kekuatan instrinsik yang besar. Warisan ini pulalah yang telah mendorong para filsuf dan ilmuwan-ilmuwan membangun teori-teori yang mengunakan daya nalar spekulatif rasio untuk mengerti dan menjelaskan alam semesta. Akan tetapi, di pihak lain ada juga warisan pemikiran yang hanya begitu menekankan pentingnya pemikiran yang bersifat praksis semata (empirisme). Bagi kelompok ini, kerja rasio tidak terlalu ditekankan sehingga rasio kehilangan tempatnya. Rasio kehilangan kreativitasnya sebagai instrumen khas manusiawi yang mampu membentuk pemikiran dan mengarahkan sejarah. Hasil dari model pemikiran ini yakni munculnya ilmu-ilmu terapan. Termasuk di dalamnya yakni Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, secara filosofis, pragmatisme berusaha untuk menjebatani dua aliran filsafat tradisional ini. Atas salah satu


cara pragmatisme menyetujui apa yang menjadi keunggulan dari empirisme. Hal- hal itu seperti.

1.         Bahwa kita tidak pernah memiliki konsep yang menyeluruh tentang realitas,

 

2.         Pengetahuan mengenai obyek-obyek material bersumber dari persepsi dengan perspektif yang berbeda-beda,

3.         Dibutuhkan pemahaman multidimensi atau memerlukan pemahaman pluralitas. Jadi pemahaman komprehensif mesti dilihat dalam pluralitas.

Selain sependapat dengan empirisme untuk beberapa hal di atas, pragmatisme juga sependapat dengan tradisi rasionalisme dan idealisme dalam hal keseluruhan nilai hidup, terutama moralitas dan agama memberi makna untuk hidup manusia.

Melihat apa yang ingin dijembatani ini, pragmatisme mengangkat nilai-nilai positif yang ada pada kedua tradisi tersebut. Prinsip yang dipegang kaum pragmatis yakni: tidaklah penting bahwa saya menerima teori ini atau itu; yang penting ialah apakah saya memiliki suatu teori atau nilai yang dapat berfungsi dalam tindakan.[8]

 

3.1.2   Pengertian Pragmatisme

 

Pragmatism berasal dari kata pragma yang berarti guna. Pragma berasal dari kata yunani. Maka pragmatisme adalah suatu aliran filsafat abad ke-20 yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis.

Pragmatisme merupakan teoriu kebenaran yang mendasarkan diri kepada criteria tentang fungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu.

Menrut teori ini, suatu kebenaran suatu pernyataan di ukur dengan menggunakan criteria fungsional. Suatu pernyataan benar jika pernyataan


tersebut memiliki fungsi atau kegunaan dalam kehidupan praktis. Jadi, kebenaran menurut paham ini bukan kebenaran yang di lihat dari segi etik, baik atau buruk, tetapi kebenaran yang di dasarkan pada kegunaannya

 

3.1.3  Tokoh Pragmatisme Dan Pemikirannya

1.                   Charles Sandre Peirce ( 1839 M )

Dalam konsepnya ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika, dan bukan teori kebenaran, melainkan suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah. Dari kedua pernyataan itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa, pragmatisme tidak hanya sekedar ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta mencari kebenaran belaka, juga bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan hakekat dibalik realitas, tetapi konsep pragmatisme lebih cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia.

Peirce mengemukakan dua metode yaitu metode pragmatik dan prosedur penetapan makna. Yang dimaksud metode pragmatik merupakan sebuah ide yang kita pikirkan itu bisa menjadi jelas. Metode pragmatik bukan dimaksudkan untuk menetapkan makna semua ide melainkan untuk konsep intelektual yang dimiliki struktur argumentatif atas fakta obyektif.

Prosedur Penetapan Makna merupakan urunan lain yang dari Peirce pada pragmatisme. Pertama, suatu makna itu kosong bila tak dapat diaplikasikan dalam situasi. Kedua, untuk dapat memberikan makna kita harus membangun sekema sebagai kerangka teoretik untuk mendapatkan isi konsep empirik yang signifikan.


2.            


William, James (1842-1910)

Lahir di new York, pada tahun 1842. Setelah belajar ilmu kedokteran di universitas Harvard, ia kemudian pada tahun 1855-1860 belajar di Inggris, prancis, Swiss, dan Jerman. memperkenalkan ide-idenya tentang pragmatism kepada dunia. Ia ahli dalam bidang seni, psikologi, anatomi, fisiologi, dan filsafat. Pemikiran filsafatnya lahir karena dalam sepanjang hidupnya mengalami konflik antara pandangan ilmu pengetahuan dengan pandangan agama. Ia beranggapan, bahwa masalah kebenaran tentang asal/tujuan dan hakikatnya bagi orang Amerika terlalu teoritis. Ia menginginkan hasil-hasil yang konkrit. Dengan demikian, untuk mengetahui kebenaran dari idea tau konsep haruslah diselidiki konskuensi-konskuensi praktisnya.

William james selain menamakan filsafatnya dengan pragmatisme, juga menyebut dengan istilah radical empirisme (suatu empirisme harus tidak menerima unsure alam bentuk apapun yang tidak alami secara langsung, atau mengeluarkan dari bentuknya unsure yang di alamin secara langsung).

a.   Kebenaran Pragmatisme

 

Dalam bukunya the meaning of the truth (1909), James mengemukakan bahwa tiada kebenaran mutlak yang berlaku umum, bersifat tetap, berdiri sendiri, dan terlepas dari segala akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam praktiknya apa yang kita anggap benar dapat di koreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tiada kebenaran


yang mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran “plural” (apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat di ubah oleh pengalaman berikutnya).

Dalam membuktikan suatu kebenaran, James mengajukan pertanyaanapakah yang dilakukan oleh hide padamu dalam menghadapi kehidupan nyata?”. Untuk memilikin nilai-nilai kemanusiaan, setiap ide mestilah berguna untuk mewujudkan setiap tujuan hidup yang jelas. Ketika James menyelidiki teori-teori kebenaran yang tradisional, ia menanyakan apakah arti kebenaran dalam tindakan. Kebenaran harus merupakan nilai dari satu ide. Tak ada suatu motif dalam mengatakan bahwa sesuatu itu benar atau tidak benar, kecuali untuk member Petunjuk bagi tindakan yang Praktis. Dalam konteks ini, James mengatakan:

“ideas become true just so far as they help us to get into satisfactory relation other Parts of out experience” (“ suatu ide menjadi benar sejauh ide itu menolong kita untuk memasuki hubungan-hubungan yang menguntungkan dan memuaskan dengan bagian-bagian lain Pengalaman kita”).

James menolak mentah-mentah tentang filsafat tradisional yang mengatakan bahwa kebenaran itu bersifat “monistik” (tunggal). Kebenaran itu relative, subjektif, dan terus berkembang. Nilai perkembangan dalam pragmatism tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya, atau tergantung kepada keberhasilan dari perbbbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar jika bermanfaat bagi pelakunya, jika dapat memperkaya hidup, serta kemungkinan-kemungkinan hidup. Menurut James, ada dua hal kebenaran pokok dalam filsafat, yaitutough minded dan tender minded. Tough minded dalam mencari kebenaran hanya lewat pendekatan empiris dan tergantung pada fakta-fakta yang dapat ditangkap indra. Ini tentu saja menuju pada materialism, dan skeptic dan apriori terhadap apa saja yang berbau immaterial (transidental). Sikaf ini dipegang kuat oleh penganut filsafat


empirisme. Sementara tender mended hanya mengakui kebenaran yang sifatnya berada dalam ide dan yang bersifat rasional. Tender mended sangat apriori pada realitas. Paham semacam ini dipegang teguh oleh penganut filsafat idealisme. James dating untuk menengahi kedua paham tersebut dalam mengajukan konsep miliorismenya.

b.         Pragmatism dan Etika

 

Terdapat hubungan yang erat antara konsep pragmatisme mengenai kebenaran dan sumber kebaikan. Selama ide itu bekerja dan menghasilkan hasil-hasil yang memuaskan, maka ide itu bersifat benar. Suatu ide di anggap benar apabila dapat memberikan keuntungan kepada manusia dan yang dapat di percayai tersebut membawa ke arah kebaikan.

Suatu bentuk teori etika dapat di bangun demi teori pragmatisme ini. Metode pragmatisme dalam memebrikan batasan antara baik atau buruk, salah atau benar, adalah sama seperti membatasi apakah suatu itu benar atau salah. Contohnya, mencuri bila ia mendatangkan manfaat bagi pelakunya berarti ia baik, tetapi bila ia mengakibatkan menderita berarti ia buruk

3.  Jhon Dewey

Ia dilahirkan di Burlingtonpada tahun 1859. Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore ia menjadi guru besar di bidang filsafat dan kemudian juga bidang pendidikan pada universitas-universitas di Mionnesota, Michigan, Chicago (1894- 1904), dan akhirnya universitas Columbia (1904-1929).

Sekalipun Dewey terlepas dari Willian James, ia menghasilkan pemikiran yang nampaknya memiliki persamaan dengan gagasan james. Ia adalah seorang


pragmatis tetapi ia lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah insrtumentalisme. Menurutnya, tugas filsafat ialah memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan penyelidikan serta mengelola pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian filsafat akan dapat menyusun suatu system norma-norma dan nilai-nilai.

Pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman-pengalaman. Gerak itu di bangkitkan segera kita di hadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan dalam dunia sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau dalam diri kita sendiri. Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang mengandung di dalamnya pemisahan antara subjek dan objek, tetapi menyatukan keduanya. Jika subjek dan objek di pisahkan maka itu bukan pengalaman tetapi pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran itulah yang menyusun sasaran pengetahuan.]

Menurut Dewey, penyelidikan adalah transformasi yang terawasi atau terpimpin dari suatu keadaan yang tertentu. Penyelidikan berkaitan dengan penyusunan kembali pengalaman yang di lakukan dengan sengaja. Oleh karena itu, penyelidikan dengan penilaiannya adalah suatu alat (instrumenth). Jadi yang di maksud dengan instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konmsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan- penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi- konsekuensi di masa depan.


Dalam rangka pandangan ini maka yang benar adalah apa yang pada akhirnya di setujui oleh semua orang yang menyelidikinya. Kebenaran di tegaskan dalam istilah-istilah penyelidikan. Kebenaran sama sekali bukan hal yang sekali di tentukan tidak boleh di ganggu gugat, sebab, dalam prakteknya, kebenaran memiliki nilai fungsional yang tetap. Segala pernyataan yang kita anggap benar pada dasarnya dapat berubah.

Mengenal adalah berbuat. Kadar kebenarannya akan tampak dari pengujiannya oleh pengalaman-pengalaman di dalam praktek. Satu-satunya cara yang dapar di percaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah metode induktif.Metode ini bukan hanya berlaku bagi limu pengetahuan fisika tetapi juga bagi persoalan-persoalan sosial dan moral.

 

3.1.4  CIRI KHAS PRAGMATISME

 

Seperti yang kita lihat dalam uraian sebelumnya, secara umum orang memakai istilah pragmatisme sebagai ajaran yang mengatakan bahwa suatu teori itu benar sejauh sesuatu mampu dihasilkan oleh teori tersebut. Misalnya sesuatu itu dikatakan berarti atau benar bila berguna bagi masyarakat. Sutrisno lebih lanjut menyatakan bahwa pragmatisme lebih merupakan suatu teori mengenai arti daripada teori tentang kebenaran.

Menurut Peirce kebenaran itu ada bermacam-macam. Ia sendiri membedakan kenajemukan kebenaran itu sebagai berikut :

Pertama, trancendental truth yang diartikan sebagai letak kebenaran suatu hal itu bermukim pada kedudukan benda itu sebagai benda itu sendiri. Singkatnya letak kebenaran suatu hal adalah pada “things as things”.


Kedua, complex truth yang berarti kebanaran dari pernyataan- pernyataan. Kebenaran kompleks ini dibagi dalam dua hal, yaitu kebenaran etis disatu pihak dan kebanaran logis dipihak lain.

Kebenaran etis adalah seluruh pernaytaan dengan siapa yang diimami oleh si pembicara, sedangkan kebenaran logis adalah selarasnya suatu pernyataan dengan realitas yang didefinisikan.

Patokan kebenaran proporsi atau pernyataan itu dilandaskan pada pengalaman. Artinya : suatu proporsi itu benar apabila pengalaman ,e,buktikan kebenarannya. Begitu pula sebaliknya. Menurut Peirc, ada beberapa proporsi yang tidak dapat dikatakan salah, yaitu proporsi dari matematika murni.

Disini, kriteria kebenaran matematika murni letknya dalm hal “ketidak mungkinannya lagi” untuk menemukan kasus yang lemah. Dalam matematika murni, semua kasus dan proporsi serba kuat . proporsinya sama sekali juga tidak mengatakan sesuatu tentang hal-hal yang faktual ada atau fakta aktual karena matematika murni tidak pernah menghiraukan apakah ada real atau fakta yang cocok dengan pernyataan itu atau tidak. Karena itulah Peirnc mengatakan bahwa proporsi matematika murni tidak dapat diklasifikasikan secara pasti kebenarannya. Masalah penentuan hal “benar” memang bisa dilihat dari bermacam-macam segi yaitu disatu pihak bisa diartikan sebagai “the universe of all truth”, dipihak lain, dari sudut epistemologi, kebenaran di definisikan sebagai kesesuaian antara pernyataan dengan penyelidikan empiris.

Karena itu, teori pragmatisme Peirce lebih menekankan teori tetntang arti daripada teori tentang kebenara. Pandangan Peirce tentang kebenaran dalam uraian diatas, lebih merupakan pandangan seorang idealis daripada pandangan seorang pragmatis

Menurut Peirce, pragmatis adalah suatu metode untuk membuat sesuatu ide manjadi jelas atau terang menjadi berarti. Kelihatan sekali teori arti Peirce


pada pragmatisismennya, baginya pragmatisme adalah metode untuk menditerminasi makna dari ide-ide. Ide itulah yan hendak diditerminasikan atau artinya melalui pragmatime.

Ketiga, yaitu ide tentang kaitan salah satu bentuk pasti dari obyek yang diamati oleh penilik, ciri khas pragmatisme merupakan ,etode untuk ,e,astikam arti ide-ide di atas.

 

3.1.5  Kekuatan Dan Kelemahan Pragmatisme

 

1.         Kekuatan Pragmatisme.

 

a.    Pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia untuk hanya sekedar mempercayai pada hal yang sifatnya riil, indrawi, dan yang manfaatnya bisa dinikmati secara praktis pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.

b.    Pragmatisme telah berhasil mendorong berfikir yang liberal, bebas, dan selalu menyangsikan segala yang ada. Berangkat dari sikap skeptis tersebut, pragmatisme telah mampu mendorong dan member semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktiakn suatu konsep lewat penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian dan eksperimen- eksperimen sehingga muncullah temuan-temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan di bidang sosial dan ekonomi.

c.    Sesuai dengan coraknya yang “sekuler” pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan yang mapan”. Suatu kepercayaan dapat di terima apabila terbukti kebenarannya lewat pembuktian yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya suatu yang sacral dan mitos. Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompok pragmatisme merupakan pendukung terciptanya demokratisasi,


kebebasan manusia, dan gerakan-gerakan progresif dalam masyarakat modern.

2.         Kelemahan Pragmatisme:

 

a.    Pada perkembangannya pragmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam upaya mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap seperti ini menurus kepada sikap hateisme.

b.    Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah suatu yang nyata, praktis, dan langsung dapat di nikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptakan pola pikir masyarakat yang materialis. Manusia berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan yang bersifat rohaniah, maka dalam otak masyarakat pragmatisme trelah di hinggapi oleh penyakit materialism.

c.    Untuk mencapai tujuan materialismenya, manusia mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa mempedulikan lagi bahwa dirinya merupakan anggota dari masyarakat sosialnya. Ia bekerja tanpa mengenal batas waktu hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan materinya, maka dalam struktur masyarakatnya manusia hidup semakin egois individualis. Dari sini masyarakat pragmatisme menderita penyakit humanisme.

3.1.6  Sifat-sifat Pragmatisme

 

Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis, pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat. Sebagai prinsip pemecahan masalah,


pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan dan keresahan tersebut hilang

Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang dasar pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum pragmatisterhadap perselisihan teoritis,serta pembahasan nilai-nilai yang berkepanjangan sesegera mungkin mengambil tindakan langsung

 

3.1.7  Implementasi Filsafat Pragmatisme

 

Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar subjek didik saat belajar di sekolah tak berbeda ketika ia berada di luar sekolah. Oleh karenanya, kehidupan di sekolah selalu disadari sebagai bagian dari pengalaman hidup, bukan bagian dari persiapan untuk menjalani hidup. Di sini pengalaman belajar di sekolah tidak berbeda dengan pengalaman saat ia belajar di luar sekolah. Pelajar menghadapi problem yang menyebabkan lahirnya tindakan penuh dari pemikiran yang relative. Di sini kecerdasan disadari akan melahirkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan membawa mereka di dalam beradaptasi dengan dunia yang berubah. Ide gagasan yang berkembang menjadi sarana keberhasila.

1.            Instrumemtalisme

 

Dewey berpendapat bahwa berpikir sebagai alat untuk memecahkan masalah. Dengan demikian maka ia mengesampingkan penelitian ilmu murni yang secara langsung berkaitan dengan kehidupan konkret.


2.            Eksperimentalisme

 

Kita menguji kebenaran suatu peoposisi dengan melakukan percobaan. Dengan demikian maka tidak ada kebenaran yang pasti dan dapat dijadikan pedoman dalam bertindak. Misalnya: suatu UU terus menerus diuji. Lantas, kapan masyarakat bisa menjadikan UU itu sebagai pedoman untuk bertindak? Pendek kata dalam hidup bermasyarakat, kita memerlukan kebenaran yang ditetapkan, bukan terus-menerus diuji.

3.            Pendidikan

 

Dewey menekankan pendidikan formal berdasarkan minat anak-anak dan pelajaran yang diberikan hendaknya disesuaikan dengan minat anak-anak. Dengan pandangan yang demikian maka pelajaran yang berlangsung di sekolah tidak difokuskan karena minat setiap anak itu berbeda-beda. Demikian juga dengan pelajaran-pelajaran pokok yang harus diajarkan kepada anak-anak tidak dapat diterapkan dengan baik.

4.            Moral

 

Penolakan dewey terhadap gagasan adanya final end berdasarkan finalis kodrat manusia dan sebagai gantinya ia menekankan peran ends-in-view, membuat teorinya jatuh pada masalah ”infinite regress” (tidak adanya pandangan yang secara logis memberi pembenaran akhir bagi proses penalaran. Karena adanya final end yang berlaku universal ditolak dan yang ada adalah serangkaian ends- in-view maka pembenaran terhadap ends-in-view tidak pernah dilakukan secara defenitif. Akibatnya tidak ada tolak ukur yang tegas untuk menilai tindakan itu baik atau tidak

Model pembelajaran pragmatisme adalah anak belajar di dalam kelas dengan cara berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan kewajiban masing-masing. Sementara, guru hanya


bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Model pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat anak untuk terus belajar, serta anak dilatih berpikir secara logis. Sebagaimana yang diungkap oleh Power (Sadulloh, 2003:133) bahwa, implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan mencakup tiga hal pokok. Ketiga hal pokok tersebut, yaitu:

·                   Tujuan Pendidikan, tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi.

·                   Kedudukan Siswa, kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme

 

merupakan suatu organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh.

·                   Kurikulum, kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah. Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat menentukan kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan kebutuhan anak tersebut.

·                   Metode, metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah metode aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja), serta metode pemecahan masalah (problem solving method), serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.

·                   Peran Guru. Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.


Selain hal di atas, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam ruang pembelajaran sekolah. Karena pendidikan bukan ruang yang terpisah dari sosial, setiap orang dalam suatu masyarakat juga diberi kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang ada. Keputusan-keputusan tersebut kemudian mengalami evaluasi berdasarkan situasi-situasi sosial yang ada.

 

3.2  IDEALISME

 

3.2.1  Sejarah Idealisme

 

Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pemikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato. Plato menyatakan bahwa alam cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanya berupa bayangan saja dari alam ide.

Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai suatu tenaga yang berada dalam benda- benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa paham idealisme sepanjang masa tidak pernah hilang sama sekali. Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini.

Pada jaman Aufklarung para filosof yang mengakui aliran serba dua (dualisme) seperti Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian dan kebendaan, maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting daripada kebendaan. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut idealisme yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang


mendalam. Puncak jaman idealisme pada masa abad ke-18 dan 19 ketika periode idealisme.

Secara historis, idealisme diformulasikan dengan jelas pada abad IV sebelum masehi oleh Plato (427-347 SM). Semasa Plato hidup kota Athena adalah kota yang berada dalam kondisi transisi (peralihan). Peperangan bangsa Persia telah mendorong Athena memasuki era baru. Seiring dengan adanya peperangan-peperangan tersebut, perdagangan dan perniagaan tumbuh subur dan orang-orang asing tinggal diberbagai penginapan Athena dalam jumlah besar untuk meraih keuntungan mendapatkan kekayaan yang melimpah. Dengan adanya hal itu, muncul berbagai gagasan-gagasan baru ke dalam lini budaya bangsa Athena. Gagasan-gagasan baru tersebut dapat mengarahkan warga Athena untuk mengkritisi pengetahuan & nilai-nilai tradisional. Saat itu pula muncul kelompok baru dari kalangan pengajar (para Shopis. Ajarannya memfokuskan pada individualisme, karena mereka berupaya menyiapkan warga untuk menghadapi peluang baru terbentuknya masyarakat niaga. Penekanannya terletak pada individualisme, hal itu disebabkan karena adanya pergeseran dari budaya komunal masa lalu menuju relativisme dalam bidang kepercayaan dan nilai.

Aliran filsafat Plato dapat dilihat sebagai suatu reaksi terhadap kondisi perubahan terus-menerus yang telah meruntuhkan budaya Athena lama. Ia merumuskan kebenaran sebagai sesuatu yang sempurna dan abadi (eternal). Dan sudah terbukti, bahwa dunia eksistensi keseharian senantiasa mengalami perubahan. Dengan demikian, kebenaran tidak bisa ditemukan dalam dunia materi yang tidak sempurna dan berubah. Plato percaya bahwa disana terdapat kebenaran yang universal dan dapat disetujui oleh semua orang. Contohnya dapat ditemukan pada matematika, bahwa 5 + 7 = 12 adalah selalu benar


(merupakan kebenaran apriori), contoh tersebut sekarang benar, dan bahkan di waktu yang akan datang pasti akan tetap benar.

Idealisme dengan penekanannya pada kebenaran yang tidak berubah, berpengaruh pada pemikiran kefilsafatan. Selain itu, idealisme ditumbuh kembangkan dalam dunia pemikiran modern. Tokoh-tokohnya antara lain: Rene Descartes (1596-1650), George Berkeley (1685-1753), Immanuel Kant (1724- 1804) dan George W. F. Hegel (1770-1831). Seorang idealis dalam pemikiran pendidikan yang paling berpengaruh di Amerika adalah William T. Harris (1835- 1909) yang menggagas Journal of Speculative Philosophy. Ada dua penganut idealis abad XX yang telah berjuang menerapkan idealisme dalam bidang pendidikan modern, antara lain: J. Donald Butler dan Herman H. Horne. Sepanjang sejarah, idealisme juga terkait dengan agama, karena keduanya sama-sama memfokuskan pada aspek spiritual dan keduniawian lain dari realitas.

 

3.2.2  Pengertian Idealisme

 

Idealisme adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang berpaham bahwa pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide. Semua bentuk realita adalah manifestasi dalam ide. Karena pandangannya yang idealis itulah idealisme sering disebut sebagai lawan dari aliran realisme. Tetapi, aliran ini justru muncul atas feed back realisme yang menganggap realitas sebagai kebenaran tertinggi. Idealisme menganggap, bahwa yang konkret hanyalah bayang-bayang, yang terdapat dalam akal pikiran manusia. Kaum idealisme sering menyebutnya dengan ide atau gagasan. Seorang realisme tidak menyetujui pandangan tersebut. Kaum realisme berpendapat bahwa yang ada itu adalah yang nyata, riil, empiris, bisa dipegang, bisa diamati dan lain-lain. Dengan kata lain sesuatu yang nyata adalah sesuatu yang bisa diindrakan (bisa diterima oleh panca indra).


 

3.2.3  Perkembangan Idealisme.

 

Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat Barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato. Yang menyatakan bahwa alam, cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam idea itu. Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga (entelechie) yang berada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang masa tidak pernah faham idealisme hilang sarna sekali. Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini.

Pada jaman Aufklarung ulama-ulama filsafat yang mengakui aliran serba dua seperti Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian dan kebendaan maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting daripada kebendaan. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut Idealisme yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang mendalam. Puncak jaman Idealiasme pada masa abad ke-18 dan 19 ketika periode Idealisme Jerman sedang besar sekali pengaruhnya di Eropa

 

3.2.4  Jenis-jenis Idealisme

 

a.         Idealisme Subyektif (Immaterialisme) :

 

Seorang idealis subyektif berpendirian bahwa akal, jiwa dan persepsi- persepsinya atau ide-idenya merupakan segala yang ada. Obyek pengalaman bukan benda material, obyek pengalaman adalah persepsi. Benda-benda seperti bangunan dan pohon-pohonan itu ada, tetapi hanya ada dalam akal yang


mempersepsikannya. George Berkeley (1685-1753), seorang filosof dari Irlandia. Ia lebih suka menamakan filsafatnya dengan immaterialisme.Baginya, ide adalah 'esse est perzipi' (ada berarti dipersepsikan). Tetapi akal itu sendiri tidak perlu dipersepsikan agar dapat berada. Akal adalah yang melakukan persepsi. Segala yang riil adalah akal yang sadar atau suatu persepsi atau ide yang dimiliki oleh akal tersebut.

Berkeley menyatakanbahwa ketertiban dan konsistensi alam adalah riil disebabkan oleh akal yang aktif yaitu akal Tuhan, akal yang tertinggi, adalah pencipta dan pengatur alam. Kehendak Tuhan adalah hukum alam. Tuhan menentukan urutan dan susunan ide-ide. Berkeley menyatakanbahwa ketertiban dan konsistensi alam adalah riil disebabkan oleh akal yang aktif yaitu akal Tuhan, akal yang tertinggi, adalah pencipta dan pengatur alam. Kehendak Tuhan adalah hukum alam. Tuhan menentukan urutan dan susunan ide-ide.Tak mungkin ada benda atau persepsi tanpa seorang yang mengetahui benda atau persepsi tersebut, subyek (akal atau si yang tahu) seakan-akan menciptakan obyeknya (apa yang disebut materi atau benda-benda) bahwa apa yang riil itu adalah akal yang sadar atau persepsi yang dilakukan oleh akal tersebut.

b.         Idealisme Obyektif

 

Platomenamakan realitas yang fundamental dengan nama ide, tetapi baginya, tidak seperti Berkeley, hal tersebut tidak berarti bahwa ide itu, untuk berada, harus bersandar kepada suatu akal, apakah itu akal manusia atau akal Tuhan. Platopercaya bahwa di belakang alam perubahan atau alam empiris, alam fenomena yang kita lihat atau kita rasakan, terdapat dalam ideal, yaitu alam essensi, formatau ide.

Plato:dunia dibagi dalam dua bagian.


·                Pertama, dunia persepsi, dunia penglihatan, suara dan benda- benda individual. Dunia seperti itu, yakni yang kongkrit, temporal dan rusak, bukanlah dunia yang sesungguhnya, melainkan dunia penampakkan saja.

·                Kedua, terdapat alam di atas alam benda, yaitu alam konsep, ide, universal atau essensiyang abadi. Konsep manusiamengandung realitasyang lebih besar daripada yang dimiliki orang seorang. Dikenalnyabenda-benda individual karena mengetahui konsep-konsep dari contoh-contoh yang abadi.

Ide-ide adalah contoh yang transenden dan asli, sedangkan persepsi dan benda-benda individual adalah copyatau bayangandari ide-ide tersebut. Ide- ide yang tidak berubah atau essensi yang sifatnya riil, diketahui manusia dengan perantaraan akal. Jiwa manusia adalah essensi immaterial, dikurung dalam badan manusia untuk sementara waktu. Dunia materi berubah, jika dipengaruhi rasa indra, hanya akan memberikan opini dan bukan pengetahuan. Ide-ide adalah contoh yang transenden dan asli, sedangkan persepsi dan benda-benda individual adalah copyatau bayangandari ide-ide tersebut. Ide-ide yang tidak berubah atau essensi yang sifatnya riil, diketahui manusia dengan perantaraan akal. Jiwa manusia adalah essensi immaterial, dikurung dalam badan manusia untuk sementara waktu. Dunia materi berubah, jika dipengaruhi rasa indra, hanya akan memberikan opini dan bukan pengetahuan. Kelompok idealis obyektif modern berpendapat bahwa semua bagian alam tercakup dalam suatu tertib yang meliputi segala sesuatu, dan mereka menghubungkan kesatuan tersebut kepada ide dan maksud-maksud dari suatu akal yang mutlak (absolute mind).

Hegel (1770-1831) memaparkan satu dari sistem-sistem yang terbaik dalam idealisme monistik ataumutlak(absolute). Pikiran adalah essensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa yang diobyektifkan. Alam adalahAkal yang Mutlak(absolute reason) yang mengekpresikan dirinya dalam bentuk luar.


Sejarahadalah cara zat Mutlak (absolute) itu menjelmadalam waktu dan pengalaman manusia. Oleh karena alam itu satu, dan bersifat mempunyai maksud serta berpikir, maka alam itu harus berwatak pikiran. Hegel membentangkan suatu konsepsi yang dinamik tentang jiwa dan lingkungan; jiwa dan lingkungan itu adalah begitu berkaitan sehingga tidak dapat mengadakan pembedaan yang jelas antara keduanya. Jiwa mengalami realitas setiap waktu.

c.         Idealisme Personal

 

Personalismemuncul sebagai protesterhadap meterialisme mekanik dan idealisme monistik. Bagi seorang personalis, realitas dasar itu bukannya pemikiran yang abstrak atau proses pemikiran yang khusus, akan tetapi seseorang, suatu jiwa atau seorang pemikir. Realitas itu termasuk dalam personalitas yang sadar. Jiwa (self) adalah satuan kehidupan yang tak dapat diperkecil lagi, dan hanya dapat dibagi dengan cara abstraksi yang palsu. Kelompok personalis berpendapat bahwa perkembangan terakhir dalam sains modern, termasuk di dalamnya formulasi teori realitas dan pengakuan yang selau bertambah terhadap 'tempat berpijaknya si pengamat' telah memperkuat sikap mereka. Realitasadalah suatu sistem jiwa personal, oleh karena itu realitas bersifat pluralistik. Kelompok personalis menekankan realitas dan harga diri dari orang-orang, nilai moral, dan kemerdekaan manusia. Bagi kelompok personalis, alam adalah tata tertib yang obyektif, walaupun begitu alam tidak berada sendiri. Manusia mengatasi alam jika ia mengadakan interpretasi terhadap alam ini. Sains mengatasi materialnya melalui teori-teorinya; alam arti dan alam nilai menjangkau lebih jauh daripada alam semesta sebagai penjelasan terakhir.Realitas adalah masyarakat perseorangan yang juga mencakup Zat yang tidak diciptakan dan orang-orang yang diciptakan Tuhan dalam masyarakat manusia. Alam diciptakan oleh Tuhan, Akuyang Maha Tinggi dalam masyarakat individu. Terdapat suatu masyarakat person atau aku-akuyang ada hubungannya


dengan personalitas tertinggi. Personalisme bersifat theistik(percaya pada adanya Tuhan), ia memberi dasar metafisik kepada agama dan etika

3.2.5.  Kelebihan dan Kekurangan Idealisme

 

Idealisme berasal dari kata ide yang artinya adalah dunia di dalam jiwa (Plato), jadi pandangan ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan fisik. Realitas sendiri dijelaskan dengan gejala-gejala psikis, roh, pikiran, diri, pikiran mutlak, bukan berkenaan dengan materi. Kata idealisme pun merupakan istilah yang digunakan pertama kali dalam dunia filsafat oleh Leibniz pada awal abad 18. Ia menerapkan istilah ini pada pemikiran Plato, seraya memperlawankan dengan materialisme Epikuros.

Istilah Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang yang mental dan ideasional sebagai kunci ke hakikat realitas. Dari abad 17 sampai permulaan abad 20 istilah ini banyak dipakai dalam pengklarifikasian filsafat. Tokoh-tokoh lain cukup banyak ; Barkeley, Jonathan Edwards, Howison, Edmund Husserl, Messer dan sebagainya.

Kelebihan:

 

·         Meningkatkan daya pemikiran dari segi menghasilkan ide yang benar dan boleh dipakai. Kelemahan :

·                  Anggapan terhadap sesuatu nilai atau kebenaran yang kekal sepanjang masa.

Kelemahan :

 

·         Anggapan terhadap sesuatu nilai atau kebenaran yang kekal sepanjang masa.


3.2.6  Tokoh-tokoh Idealisme

 

Ø   Plato (477 -347 Sb.M)


 

Menurut Plato, kebaikan merupakan hakikat tertinggi dalam mencari kebenaran. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah mengetahui ide, manusia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakannya sebagai alat untuk mengukur, mengklarifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami sehari-hari.

Ø   Immanuel Kant (1724 -1804)


Ia menyebut filsafatnya idealis transendental atau idealis kritis dimana paham ini menyatakan bahwa isi pengalaman langsung yang kita peroleh tidak dianggap sebagai miliknya sendiri melainkan ruang dan waktu adalah forum intuisi kita. Dapat disimpulkan bahwa filsafat idealis transendental menitik beratkan pada pemahaman tentang sesuatu itu datang dari akal murni dan yang tidak bergantung pada sebuah pengalaman.

Ø   Pascal (1623-1662)



Kesimpulan dari pemikiran filsafat Pascal antara lain.

 

a)         Pengetahuan diperoleh melalaui dua jalan, pertama menggunakan akal dan kedua menggunakan hati.

b)         Manusia besar karena pikirannya, namun ada hal yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia yaitu pikiran manusia itu sendiri. Menurut Pascal manusia adalah makhluk yang rumit dan kaya akan variasi serta mudah berubah. Untuk itu matematika, pikiran dan logika tidak akan mampu dijadikan alat untuk memahami manusia. Menurutnya alat-alat tersebut hanya mampu digunakan untuk memahami hal-hal yang bersifat bebas kontradiksi, yaitu yang bersifat konsisten.Karena ketidak mampuan filsafat dan ilmu-ilmu lain untuk memahami manusia, maka satu-satunya jalan memahami manusia adalah dengan agama. Karena dengan agama, manusia akan lebih mampu menjangkau pikirannya sendiri, yaitu dengan berusaha mencari kebenaran, walaupun bersifat abstrak.

c)         Filsafat bisa melakukan apa saja, namun hasilnya tidak akan pernah sempurna. Kesempurnaan itu terletak pada iman.Filsafat bisa menjangkau segala hal, tetapi tidak bisa secara sempurna.Karena setiap ilmu itu pasti ada kekurangannya, tidak terkecuali filsafat.

Ø   J. G. Fichte (1762-1914 M.)


Ia adalah seorang filsuf jerman. Ia belajar teologi di Jena (1780-1788 M). Pada tahun 1810-1812 M, ia menjadi rektor Universitas Berlin. Filsafatnya disebut “Wissenschaftslehre” (ajaran ilmu pengetahuan). Secara sederhana pemikiran Fichte: manusia memandang objek benda-benda dengan inderanya. Dalam mengindra objek tersebut, manusia berusaha mengetahui yang


dihadapinya. Maka berjalanlah proses intelektualnya untuk membentuk dan mengabstraksikan objek itu menjadi pengertian seperti yang dipikirkannya.

Ø   F. W. S. Schelling (1775-1854 M.)


Schelling telah matang menjadi seorang filsuf disaat dia masih amat muda. Pada tahun 1798 M, dalam usia 23 tahun, ia telah menjadi guru besar di Universitas Jena. Dia adalah filsuf Idealis Jerman yang telah meletakkan dasar- dasar pemikiran bagi perkembangan idealisme Hegel.

Inti dari filsafat Schelling: yang mutlak atau rasio mutlak adalah sebagai identitas murni atau indiferensi, dalam arti tidak mengenal perbedaan antara yang subyektif dengan yang obyektif. Yang mutlak menjelmakan diri dalam 2 potensi yaitu yang nyata (alam sebagai objek) dan ideal (gambaran alam yang subyektif dari subyek). Yang mutlak sebagai identitas mutlak menjadi sumber roh (subyek) dan alam (obyek) yang subyektif dan obyektif, yang sadar dan tidak sadar. Tetapi yang mutlak itu sendiri bukanlah roh dan bukan pula alam, bukan yang obyektif dan bukan pula yang subyektif, sebab yang mutlak adalah identitas mutlak atau indiferensi mutlak.

Maksud dari filsafat Schelling adalah, yang pasti dan bisa diterima akal adalah sebagai identitas murni atau indiferensi, yaitu antara yang subjektif dan objektif sama atau tidak ada perbedaan. Alam sebagai objek dan jiwa (roh atau ide) sebagai subjek, keduanya saling berkaitan. Dengan demikian yang mutlak itu tidak bisa dikatakan hanya alam saja atau jiwa saja, melainkan antara keduanya.


Ø   G. W. F. Hegel (1770-1031 M.)


Ia belajar teologi di Universitas Tubingen dan pada tahun 1791 memperoleh gelar Doktor. Inti dari filsafat Hegel adalah konsep Geists (roh atau spirit), suatu istilah yang diilhami oleh agamanya. Ia berusaha menghubungkan yang mutlak dengan yang tidak mutlak. Yang mutlak itu roh atau jiwa, menjelma pada alam dan dengan demikian sadarlah ia akan dirinya. Roh itu dalam intinya ide (berpikir)

 

3.2.7. Konsep Idealisme

 

Konsep idealisme menurut Aliran sebagai berikut.

 

a)           Ontologi-idealisme :

 

Aliran idealisme dinamakan juga spiritualisme. Idealisme berarti serba cita sedang spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani. Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah:

·         Nilai ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Ruh itu dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya. Sehingga materi hanyalah badannya bayangan atau penjelmaan.

·         Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya.


·         Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi itu saja.

Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya, yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idealah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.

George Knight mengemukakan bahwa realitas bagi idealism adalah dunia penampakan yang ditangkap dengan panca indera dan dunia realitas yang ditangkap melalui kecerdasan akal pikiran (mind). Dunia akal pikir terfokus pada ide gagasan yang lebih dulu ada dan lebih penting daripada dunia empiris indrawi.8 Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa ide gagasan yang lebih dulu ada dibandingkan objek-objek material, dapat diilustrasikan dengan kontruksi sebuah kursi. Para penganut idealisme berpandangan bahwa seseorang haruslah telah mempunyai ide tentang kursi dalam akal pikirannya sebelum ia dapat membuat kursi untuk diduduki. Metafisika idealisme nampaknya dapat dirumuskan sebagai sebuah dunia akal pikir kejiwaan. Uraian di atas dapat dipahami bahwa meskipun idealism berpandangan yang terfokus pada dunia ide yang bersifat abstrak, namun demikian ia tidak menafikan unsur materi yang bersifat empiris indrawi. Pandangan idealisme tidak memisahkan antara sesuatu yang bersifat abstrak yang ada dalam tataran ide dengan dunia materi. Namun menurutnya, yang ditekankan adalah bahwa yang utama adalah dunia ide, karena dunia materi tidak akan pernah ada tanpa terlebih dulu ada dalam tataran ide.

b)           Epistimologi-idealisme:

 

Kunci untuk mengetahui epistemologi idealisme terletak pada metafisika mereka. Ketika idealisme menekankan realitas dunia ide dan akal pikiran dan jiwa, maka dapat diketahui bahwa teori mengetahui (epistemologi)nya pada


dasarnya adalah suatu penjelajahan secara mental mencerap ide-ide, gagasan dan konsep-konsep. Dalam pandangannya, mengetahui realitas tidaklah melalui sebuah pengalaman melihat, mendengar atau meraba, tetapi lebih sebagai tindakan menguasai ide sesuatu dan memeliharanya dalam akal pikiran. Berdasarkan itu, maka dapat dipahami bahwa pengetahuan itu tidak didasarkan pada sesuatu yang datang dari luar, tetapi pada sesuatu yang telah diolah dalam ide dan pikiran. Berkaitan dengan ini Gerald Gutek mengatakan.

In idealism, the process of knowmg is that of recognition or remmisence of latent ideas that are preformed and already present in the mind. By reminiscence, the human mind may discover the ideas of the Macrocosmic Mind in one's own thoughts ..... Thus, knowing is essentially a process of recognition, a recall and rethinking of ideas that are latently present in the mind. What is to be known is already present in the mind.

 

Dari kutipan di atas, diketahui bahwa menurut idealisme, proses untuk mengetahui dapat dilakukan dengan mengenal atau mengenang kembali ide-ide tersembunyi yang telah terbentuk dan telah ada dalam pikiran. Dengan mengenang kembali, pikiran manusia dapat menemukan ide-ide tentang pikiran makrokosmik dalam pikiran yang dimiliki séseorang. Jadi, pada dasarnya mengetahui itu melalui proses mengenal atau mengingat, memanggil dan memikirkan kembali ide-ide yang tersembunyi atau tersimpan yang sebetulnya telah ada dalam pikiran. Apa yang akan diketahui sudah ada dalam pikiran. Kebenaran itu berada pada dunia ide dan gagasan. Beberapa penganut idealisme mempostulasikan adanya Akal Absolut atau Diri Absolut yang secara terus menerus memikirkan ide-ide itu. Berkeley menyamakan konsep Diri Absolut dengan Tuhan. Dengan demikian, banyak pemikir keagamaan mempunyai corak pemikiran demikian. Kata kunci dalam epistemologi idealisme adalah konsistensi dan koherensi. Para penganut idealisme memberikan perhatian besar pada upaya pengembangan suatu sistem kebenaran yang mempunyai konsistensi logis. Sesuatu benar ketika ia selaras dengan keharmonisan hakikat alam


semesta. Segala sesuatu yang inkonsisten dengan struktur ideal alam semesta harus ditolak karena sebagai sesuatu yang salah. Dalam idealisme, kebenaran adalah sesuatu yang inheren dalam hakikat alam semesta, dan karena itu, Ia telah dulu ada dan terlepas dari pengalaman. Dengan demikian, cara yang digunakan untuk meraih kebenaran tidaklah bersifat empirik. Penganut idealisme mempercayai intuisi, wahyu dan rasio dalam fungsinya meraih dan mengembangkan pengetahuan. Metode-metode inilah yang paling tepat dalam menggumuli kebenaran sebagai ide gagasan, dimana ia merupakan pendidikan epistemologi dasar dari idealisme.

c)           Aksiologi-idealisme:

 

Aksiologi idealisme berakar kuat pada cara metafisisnya. Menurut George Knight, jagat raya ini dapat dipikirkan dan direnungkan dalam kerangka makrokosmos (jagat besar) dan mikrokosmos (jagat kecil). Dari sudut pandang ini, makrokosmos dipandang sebagai dunia Akar Pikir Absolut, sementara bumi dan pengalaman-pengalaman sensori dapat dipandang sebagai bayangan dari apa yang sejatinya ada. Dalam konsepsi demikian, tentu akan terbukti bahwa baik kriteria etik maupun estetik dari kebaikan dan kemudahan itu berada di luar diri manusia, berada pada hakikat realitas kebenaran itu sendiri dan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang abadi dan baku. Dalam pandangan idealisme, kehidupan etik dapat direnungkan sebagi suatu kehidupan yang dijalani dalam keharmonisan dengan alarm (universe). Jika Diri Absolut dilihat dalam kacamata makrokosmos, maka diri individu manusia dapat diidentifikasi sebagai suatu diri mikrokosmos. Dalam kerangka itu, peran dari individual akan bisa menjadi maksimal mungkin mirip dengan Diri Absolut. Jika Yang Absolut dipandang sebagai hal yang paling akhir dan paling etis dari segala sesuatu, atau sebagai Tuhan yang dirumuskan sebagai yang sempurna sehingga sempurna pula dalam moral, maka lambang perilaku etis penganut idealisme terletak pada "peniruan"


Diri Absolut. Manusia adalah bermoral jika ia selaras dengan Hukum Moral Universal yang merupakan suatu ekspresi sifat dari Zat Absolut.

Uraian di atas memberikan pengertian bahwa nilai kebaikan dipandang dan sudut Diri Absolut. Ketika manusia dapat menyeleraskan diri dan mampu mengejewantahkan diri dengan Yang Absolut sebagai sumber moral etik, maka kehidupan etik telah diperolehnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Gutek mengemukakan bahwa pengalaman yang punya nilai didasarkan pada kemampuan untuk meniru Tuhan sebagai sesuatu yang Absolut, sehingga nilai etik itu sendiri merupakan sesuatu yang muttlak, abadi, tidak berubah dan bersifat universal.

d.  Metafisika-idealisme:

 

secara absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan rohaniah, sedangkan secara kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan rohaniah, tetapi kenyataan rohaniah yang lebih berperan.

e.  humanologi-idealisme:

 

jiwa dikaruniai kemampuan berpikir yang dapat menyebabkan adanya kemampuan memilih.

Demikian kemanusiaan merupakan bagian dari ide mutlak, Tuhan sendiri. Idea yang berpikir sebenarnya adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Gerak ini menimbulkan tesis yang dengan sendirinya menimbulkan gerak yang bertentangan, anti tesis. Adanya tesis dan anti tesisnya itu menimbulkan sintesis dan ini merupakan tesis baru yang dengan sendirinya menimbulkan anti tesisnya dan munculnya sintesis baru pula.

Demikian proses roh atau ide yang disebut Hegel dialektika. Proses itulah yang menjadi keterangan untuk segala kejadian. Proses itu berlaku menurut hukum akal. Jadi semua yang riil bersifat rasional dan semua yang


rasional bersifat riil. Maksudnya luasnya rasio sama dengan luasnya realitas, sedangkan realitas menurut Hegel adalah proses pemikiran (ide).

 

3.2.8  Prinsiip_prinsip Idealisme

 

Prinsip-prisip Idealisme.

 

a)      Menurut idealisme bahwa realitas tersusun atas substansi sebagaimana gagasan-gagasan atau ide (spirit). Menurut penganut idealisme, dunia beserta bagian-bagianya harus dipandang sebagai suatu sistem yang masing-masing unsurnya saling berhubungan.Dunia adalah suatu totalitas, suatu kesatuan yang logis dan bersifat spiritual.

b)    Realitas atau kenyataan yang tampak di alam ini bukanlah kebenaran yang hakiki, melainkan hanya gambaran atau dari ide-ide yang ada dalam jiwa manusia.

c)     Idealisme berpendapat bahwa manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi dari pada materi bagi kehidupan manusia. Roh pada dasarnya dianggap sebagai suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh atau sukma.Demikian pula terhadap alam adalah ekspresi dari jiwa.

d)       Idealisme berorientasi kepada ide-ide yang theo sentris (berpusat kepada Tuhan), kepada jiwa, spiritualitas, hal-hal yang ideal (serba cita) dan kepada norma-norma yang mengandung kebenaran mutlak. Oleh karena nilai- nilai idealisme bercorak spiritual, maka kebanyaakan kaum idealisme mempercayai adanya Tuhan sebagai ide tertinggi atau Prima Causa dari kejadian alam semesta ini.

3.2.9. Implementasi Idealisme

 

Aliran idealisme terbukti cukup banyak       berpengaruh dalam dunia pendidikan. William T. Harris adalah salah satu tokoh aliran pendidikan idealisme


yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat. Idealisme terpusat tentang keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi secara fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekedar kebutuhan alam semata.

Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan antar manusia. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.

Guru dalam sistem pengajaran menurut aliran idealisme berfungsi sebagai.

1.      Guru adalah personifikasi dari kenyataan anak didik. Artinya, guru merupakan wahana atau fasilitator yang akan mengantarkan anak didik dalam mengenal dunianya lewat materi-materi dalam aktifitas pembelajaran.

2.      Guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa. Artinya, seorang guru itu harus mempunyai pengetahuan yang lebih dari pada anak didik.

3.      Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik. Artinya, seorang guru harus mempunyai potensi pedagogik yaitu kemampuan untuk mengembangkan suatu model pembelajaran, baik dari segi materi dan yang lainnya.


4.      Guru haruslah menjadi pribadi yang baik, sehingga disegani oleh murid. Artinya, seorang guru harus mempunyai potensi kepribadian yaitu karakter dan kewibawaan yang berbeda dengan guru yang lain.

5.      Guru menjadi teman dari para muridnya. Artinya, seorang guru harus mempunyai potensi sosial yaitu kemampuan dalam hal berinteraksi dengan anak didik.

Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook. Agar pengetahuan dan pengalamannya aktual. Sedangkan implikasi Aliran Idealisme dalam Pendidikan yaitu.

a)         Tujuan, untuk membentuk karakter, mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikan sosial.

b)         Kurikulum, pendidikan liberal untuk pengembangan kemampuan dan pendidikan praktis untuk memperoleh pekerjaan.

c)         Metode, diutamakan metode dialektika (saling mengaitkan ilmu yang satu dengan yang lain), tetapi metode lain yang efektif dapat dimanfaatkan.

d)         Peserta didik bebas untuk mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuan dasarnya.

e)         Pendidik bertanggungjawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan melalui kerja sama dengan alam.

Implementasi Idealisme dalam Pendidikan:

 

a.   Pendidikan bukan hanya mengembangkan dan menumbuhkan, tetapi juga harus menuju pada tujuan yaitu dimana nilai telah direalisasikan ke dalam bentuk yang kekal dan tak terbatas.


b.   Pendidikan adalah proses melatih pikiran, ingatan, perasaan. Baik untuk memahami realita, nilai-nilai, kebenaran, maupun sebagai warisan sosial.

c.   Tujuan pendidikan adalah menjaga keunggulan kultural, sosial dan spiritual. Memperkenalkan suatu spirit intelektual guna membangun masyarakat yang ideal

d.   Pendidikan idealisme berusaha agar seseorang dapat mencapai nilai- nilai dan ide-ide yang diperlukan oleh semua manusia secara bersama-sama.

e.   Tujuan pendidikan idealisme adalah ketepatan mutlak. Untuk itu, kurikulum seyogyanya bersifat tetap dan tidak menerima perkembangan.

f.    Peranan pendidik menurut aliran ini adalah memenuhi akal peserta didik dengan hakekat-hakekat dan pengetahuan yang tepat.

 

 

3.3  POSITIVISME

 

3.3.1  SEJARAH FILSAFAT POSITIVISME

 

Positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern. Secara umum boleh dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran positivisme dapat dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804). Hume berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah diuji melalui percobaan (aliran Empirisme). Sementara Kant adalah orang yang melaksanakan pendapat Hume ini dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik terhadap pikiran murni / aliran Kritisisme). Selain itu Kant juga membuat batasan-batasan wilayah pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk menghukumi pengetahuan tersebut dengan menjadikan pengalaman sebagai porosnya (Ahmad, 2009).


Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar 1825). Prinsip filosofik tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh seorang filosof berkebangsaan Inggeris yang bernama Francis Bacon yang hidup di sekitar abad ke-17 (Muhadjir, 2001). Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam.

Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang menggunakan istilah ini kemudian mematoknya secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat dalam karya utamanya yang berjudul Course de Philosophie Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842), yang diterbitkan dalam enam jilid (Achmadi, 1997).

Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis (tahapan agama dan ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga periode: animisme, politeisme dan monoteisme. Pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan. Selanjutnya pada zaman metafisis (tahapan filsafat), kuasa adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep- konsep abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’. Pada fase ini manusia menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi. Dan akhirnya pada masa positif (tahap positivisme) manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan


menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan kemampuan rasio. Pada tahap ini manusia menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena (Ahmad 2009).

 

3.3.2  PENGERTIAN POSITIVISME

 

Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif disini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Oleh karena itu, filsafat pun harus meneladani contoh tersebut. Maka dari itu, positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan “hakikat” benda-benda, atau “penyebab yang sebenarnya”, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta- fakta (Praja, 2005).

Jadi, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak mengenal adanya spekulasi, semua harus didasarkan pada data empiris. Positivisme dianggap bisa memberikan sebuah kunci pencapaian hidup manusia dan ia dikatakan merupakan satu-satunya formasi sosial yang benar-benar bisa dipercaya kehandalan dan dan akurasinya dalam kehidupan dan keberadaan masyarakat.

Comte sering disebut “Bapak Positivisme“ karena aliran filsafat yang didirikannya tersebut. Positivisme adalah nyata, bukan khayalan. Ia menolak metafisika dan teologik. Jadi menurutnya ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai kemajuan. Positivisme merupakan suatu paham yang berkembang dengan sangat cepat, ia tidak hanya menjadi


sekedar aliran filsafat tapi juga telah menjadi agama humanis modern. Positivisme telah menjadi agama dogmatis karena ia telah melembagakan pandangan dunianya menjadi doktrin bagi ilmu pengetahuan. Pandangan dunia yang dianut oleh positivisme adalah pandangan dunia objektivistik. Pandangan dunia objektivistik adalah pandangan dunia yang menyatakan bahwa objek-objek fisik hadir independen dari mental dan menghadirkan properti- properti mereka secara langsung melalui data indrawi. Realitas dengan data indrawi adalah satu. Apa yang dilihat adalah realitas sebagaimana adanya. Seeing is believing (Syaebani, 2008).

Tugas khusus filsafat menurut aliran ini adalah mengoordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan yang beraneka ragam coraknya. Tentu saja maksud positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman. Hanya saja berbeda dengan empirisme Inggris yang menerima pengalaman batiniah atau subjektif sebagai sumber pengetahuan, positivisme tidak menerimanya. Ia hanya ,mengandalkan pada fakta-fakta.

Menurut Ahmad (2009), Tujuan utama yang ingin dicapai oleh positivisme adalah membebaskan ilmu dari kekangan filsafat (metafisika). Menurut Ernst, ilmu hendaknya dijauhkan dari tafisran-tafsiran metafisis yang merusak obyektifitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafisran metafisis dari ilmu, para ilmuwan hanya akan menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan indera untuk menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat. Menurut positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu yang ada di alam. Tugas filsafat adalah memberi penjelasan logis terhadap pemikiran. Oleh karena itu filsafat bukanlah teori. Filsafat adalah aktifitas. Filsafat tidak menghasil proposisi-proposisi filosofis, tapi yang dihasilkan oleh filsafat adalah penjelasan terhadap proposisi-proposisi.


Alasan yang digunakan oleh positivisme dalam membatasi tugas filsafat di atas adalah karena filsafat bukanlah ilmu. Kata filsafat hendaklah diartikan sebagai sesuatu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari ilmu-ilmu eksakta. Penjelasan dari hal ini adalah bahwa tugas utama dari ilmu adalah memberi tafsiran terhadap materi yang menjadi obyek ilmu tersebut. Tugas dari ilmu-ilmu eksakta adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi di alam dan sebab-sebab terjadinya. Sementara tugas ilmu-ilmu sosial adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi pada manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat. Dan karena semua obyek pengetahuan—baik yang berhubungan dengan alam maupun yang berhubungan dengan manusia— sudah ditafsirkan oleh masing-masing ilmu yang berhubungan dengannya, maka tidak ada lagi obyek yang perlu ditafsirkan oleh filsafat. Oleh karena itulah dapat disimpulkan bahwa filsafat bukanlah ilmu.

 

3.3.3  PERKEMBANGAN POSITIVISME

 

Auguste Comte dilahirkan pada tahun 1798 di kota Monpellir Perancis Selatan. Ayah dan ibunya menjadi pegawai kerajaan dan merupakan penganut agama Katolik yang cukup tekun. Ia menikah dengan seorang pelacur bernama Caroline Massin yang kemudian dia menyesali perkawinan itu. Dia pernah mengatakan bahwa perkawinan itu adalah satu-satunya kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dari kecil pemikiran-pemikiran Comte sudah mulai kelihatan, kemudian setelah ia menyelesaikan sekolahnya pada jurusan politeknik di Paris 1814-1816, dia diangkat menjadi sekretaris oleh Saint Simon yaitu seorang pemikir yang dalam merespon dampak negatif renaissance menolak untuk kembali pada abad pertengahan akan tetapi harus direspon dengan menggunakan basis intelektual baru, yaitu dengan berfikir empirik dalam mengkaji persoalan-persoalan realitas sosial. Pergulatan intelektual dengan


Saint Simon inilah yang kemudian membuat pola fikir Comte berkembang. Karena ketidak cocokan Comte dengan Saint Simon akhirnya ia memisahkan diri dan kemudian Comte menulis sebuah buku yang berjudul “System of Positive Politics, Sistem Politik Positif” tahun 1824. Berawal dari pemikiran Plato dan Aristoteles, Comte mencoba menggabungkannya menjadi positivistik (Purwanto, 2008).

Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme yaitu:

 

1.      Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi (positivisme sosial dan evolusioner), walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.

2.      Munculnya tahap kedua dalam positivisme empirio-positivisme berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius (positivisme kritis). Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain (positivisme          logis).                       Serta      kelompok                 yang    turut    berpengaruh     pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.


3.3.4  CIRI-CIRI POSITIVISME

 

Ciri-ciri Positivisme antara lain:

 

1.    Objektif/bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari realitas (korespondensi).

2.    Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala- gejala penampakan ditolak (antimetafisika)

3.    Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas partikularlah yang nyata.

4.    Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati.

 

5.    Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memiliki strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri.

6.    Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip- prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai giant clock work (Syaebani, 2008).

3.3.5  IMPLEMENTASI FILSAFAT POSITIVISME

 

Salah satu cita-cita bangsa Indonesia ialah menciptakan generasi-generasi penerus bangsa yang tidak hanya cerdas dari segi kognitif saja melainkan juga cerdas secara emosi dan spriritual melalui bidang pendidikan.

Melalui filsafat positivisme, pendidikan diarahkan kepada hal baik dalam segi intelektual dan berbagai bidang kehidupan untuk menciptakan anak didik yang sempurna baik lahir maupun batinnya. Peserta didik diasah dalam


kemampuannya melihat, menemukan fakta-fakta, menganalisis sesuatu, serta mentransfer ilmu kepada lingkungannya. sehingga diharapkan dapat terbentuknya anak bangsa yang kreatif, berkarakter, serta mampu berkontribusi dalam pembangunan bangsa agar lebih baik dan mampu bersaing dengan negara asing.

 

3.3.6  FUNGSI FILSAFAT POSITIVISME

 

Berdasarkan uraian pada bagian terdahulu kiranya dapat dikatakan mengenai, fungsi filsafat positivisme yaitu.

1.     Perkembangan yang diberi konotasi sebagai kemajuan memberikan makna bahwa positivisme telah mempertebal optimisme. Hal tersebut melahirkan pengetahuan yang positif yang terlepas dari pengaruh-pengaruh spekulatif, atau dari hukum-hukum yang umum. Berkat pandangan positivisme orang'tidak sekedar menghimpun fakta, tapi ia berupaya meramal masa depan, yang antara lain turut mendorong perkembangan teknologi

2.   Kemajuan dalam bidang fisik telah menimbulkan berbagai implikasi dalam segi kehidupan. Dengan kata lain, fungsi filsafat positivisme ini berperan sebagai pendorong timbulnya perkembangan dan kemajuan yang dirasakan sebagai kebutuhan.

3.    Dengan adanya penekanan dari filsafat positivisme terhadap segi rasional ilmiah, maka berfungsi   pula kemampuannya   untuk   menerangkan kenyataan, sedimikian rupa hingga keyakinannya akan kebenaran semakin terbuka.

3.3.7  KELEBIHAN DAN KELEMAHAN POSITIVISME

 

Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus di uji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaranya dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya


atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.

Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena kelemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.

Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.

Dari deskriptif ringkas di atas mengenai positivisme, maka sebenarnya positivisme mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan, yaitu antara lain.

a.  Kelebihan Positivisme


·         Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.

·         Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid.

·         Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya.

·         Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi.

·         Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya

b.  Kelemahan Positivisme

 

·         Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.

·         Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.


·         Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan.

·         Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.

·         Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.

·         Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincar – seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic

3.3.8  Tokoh-tokoh Positivisme

 

1.  Auguste Comte ( 1798 1857 )


Bernama lengkap Isidore Marrie Auguste Francois Xavier Comte, lahir di Montepellier, Perancis (1798). Keluarganya beragama khatolik yanga berdarah bangsawan. Dia mendapat pendidikan di Ecole Polytechnique di Paris dan lama hidup disana. Dikalangan teman-temannya Auguste Comte adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak, yang meninggalkan Ecole sesudah


seorang mahasiswa yang memberontak dalam mendukung Napoleon dipecat. Auguste Comte memulai karier professionalnya dengan memberi les dalam bidang Matematika. Walaupun demikian, perhatian yang sebenarnya adalah pada masalah-masalah kemanusiaan dan sosial. Tahun 1844, dua tahun setelah dia menyelesaikan enam jilid karya besarnya yang berjudul “Clothilde Course of Positive Philosophy”. Comte bertemu dengan Clothilde de Vaux, seorang ibu yang mengubah kehidupan Comte. Dia berumur beberapa tahun lebih muda dari pada Comte. Wanita tersebut sedang ditinggalkan suaminya ketika bertemu dengan Comte pertama kalinya, Comte langsung mengetahui bahwa perempuan itu bukan sekedar perempuan. Sayangnya Clothilde de Vaux tidal terlalu meluap- luap seperti Comte. Walaupun saling berkirim surat cinta beberapa kali, Clothilde de Vaux menganggap hubungan itu adalah persaudaraan saja. Akhirnya, dalam suratnya Chlothilde de Vaux menerima menjalin keprihatinan akan kesehatan mental Comte. Hubungan intim suami isteri rupanya tidak jadi terlaksana, tetapi perasaan mesra sering diteruskan lewat surat menyurat. Namun, romantika ini tidak berlangsung lama, Chlothilde de Vaux mengidap penyakit TBC dan hanya beberapa bulan sesudah bertemu dengan Comte, dia meninggal. Kehidupan Comte lalu bergoncang, dia bersumpah membaktikan hidupnya untuk mengenang “bidadarinya” itu. Auguste Comte juga memiliki pemikiran Altruisme. Altruisme merupakan ajaran Comte sebagai kelanjutan dari ajarannya tentang tiga zaman. Altruisme diartikan sebagai “menyerahkan diri kepada keseluruhan masyarakat”. Bahkan, bukan “salah satu masyarakat”, melainkan “humanite” suku bangsa manusia” pada umumnya. Jadi, Altruisme bukan sekedar lawan “egoisme”(Juhaya S. Pradja, 2000 : 91). Keteraturan masyarakat yang dicari dalam positivisme hanya dapat dicapai kalau semua orang dapat menerima altruisme sebagai prinsip dalam tindakan mereka. Sehubungan dengan altruisme ini, Comte menganggap bangsa manusia menjadi semacam pengganti Tuhan.


Kailahan baru dan positivisme ini disebut Le Grand Eire “Maha Makhluk” dalam hal ini Comte mengusulkan untuk mengorganisasikan semacam kebaktian untuk If Grand Eire itu lengkap dengan imam-imam, santo-santo, pesta-pesta liturgi, dan lain-lain. Ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai “Suatu agama Katholik tanpa agma Masehi”. Dogma satu-satunya agama ini adalah cinta kasih sebagai prinsip, tata tertib sebagai dasar, kemajuan sebagai tujuan. Perlu diketahui bahwa ketiga tahap atau zaman tersebutdi atas menurut Comte tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi perkembangan perorangan. Misalnya sebagai kanak-kanak seorang teolog adalah seorang positivis.

2.         John Stuart Mill ( 1806 – 1873 )


Adalah seorang filsuf Inggris, ekonom politik dan pegawai negeri sipil. Dia adalah seorang kontributor berpengaruh untuk teori sosial, teori politik dan ekonomi politik.

Lahir                  : 20 Mei 1806, Pentonville, London Meninggal : 8 Mei 1873, Avignon, Prancis Pasangan           : Harriet Taylor Mill (. M 1851-1858) Pendidikan         : University College London

Orangtua          : James Mill, Harriet Burrow

Ia adalah seorang filosof Inggris yang menggunakan sistem positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan. John Stuart Mill memberikan landasan psikologis terhadap filsafat positivisme. Karena psikologi merupakan pengetahuan dasar bagi filsafat. Seperti halnya dengan kaum positif, Mill mengakui bahwa satu-satunya yang menjadi sumber pengetahuan ialah pengalaman. Karena itu induksi merupakan metode yang paling dipercaya dalam ilmu pengetahuan.

3.    H. Taine ( 1828 1893 )


 

 

Adalah seorang kritikus Perancis dan sejarawan. Dia adalah pengaruh teoritis kepala naturalisme Perancis, pendukung utama positivisme sosiologis dan salah satu praktisi pertama kritik historis. Ia mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik, dan kesastraan.

Lahir                : 21 April 1828, Vouziers, Prancis Meninggal     : 5 Maret 1893, Paris, Prancis Pendidikan : École Normale Supérieure

 

4.      Emile Durkheim (1852 – 1917 )


 

David Émile Durkheim adalah seorang sosiolog Perancis, psikolog sosial dan filsuf. Ia secara resmi mendirikan disiplin akademis dan, dengan Karl Marx dan Max Weber, yang sering dikutip sebagai kepala sekolah.

Lahir                       : 15 April 1858, Épinal, Prancis Meninggal    : 15 November 1917, Paris, Prancis

Pendidikan         :    Lycée    Louis-le-Grand,    École    Normale    Supérieure, Universitas Leipzig

Ia menganggap positivisme sebagai asas sosiologi.

 

3.4  POST POSITIVISME

 

3.4.1  Pengertian Filsafat Post Positivsme

 

Post positivisme merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan- kelemahan positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan, sesuai


dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.

Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivism dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara. Oleh karena itu dalam makalah ini akan membahas tentang pembahasan verifikasi secara mendalam.

Guba (1990:20) menjelaskan Post-positivisme sebagai berikut: “Postpositivism is best characterized as modified version of positivism. Having assessed the damage that positivism has occured, postpositivists strunggle to limited that damage as well as to adjust to it. Prediction and control continue to be the aim.” Inti dari pernyataan yang berbahasa asing tersebut yakni, post- positivisme merupakan perbaikan dari paradigma sebelumnya yakni positivisme. Aliran post-positivisme merupakan aliran yang datang setelah positivisme, jadi wajar bila ada kesamaan dalam aliran tersebut. Positivisme dan post-positivisme sama-sama sepakat bahwa realitas itu benar-benar nyata dan sesuai dengan hukum alam. Namun, post-positivisme beranggapan bahwa manusia tidak akan mendapat kebenaran dari sebuah realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat langsung dengan realitas. Jadi peneliti memerlukan hubungan interaktif dengan realitas dengan menggunakan berbagai macam metode, sumber data, dan lain sebagainya .


3.4.2  Asumsi Dasar Post-Positivsme

 

a.    Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.

 

b.    Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.

c.    Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.

 

d.    Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah.

e.    Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.

 

f.     Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.

g.    Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan.

 

3.4.3               Perkembangan Awal Post positivisme

 

Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan- kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan   eksperimental   melalui    observasi    tidaklah    cukup,    tetapi harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.


Secara epistemologis, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, seperti yang diusulkan oleh aliran positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung.

Lahirnya paradigma post-positivisme diawali oleh gugatan terhadap positivisme yang dimulai antara tahun 1970-1980. Post-positivisme sendiri merupakan perbaikan dari positivisme yang dianggap mempunyai berbagai macam kelemahan. Kemudian alasan utama paham post-positivisme menentang terhadap positivisme yakni tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah. Contohnya pada kehidupan sehari-hari, kecenderungan orang memilih kendaraan. Jika sepeda motor bertransmisi manual cocok digunakan untuk laki- laki dan sepeda motor automatic cocok digunakan oleh perempuan. Maka belum tentu semua laki-laki menggunakan sepeda motor manual dan belum tentu pula semua wanita menggunakan sepeda motor automatic. Terkadang laki-laki ada yang lebih suka menggunakan matic dan perempuan menggunakan sepeda manual. Itulah contoh kecil dari tindakan manusia yang tidak dapat diprediksi maupun dapat berubah-ubah.

3.4.4  Posisi Aliran Postpositivisme

Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme empat pertanyaan dasar berikut, akan memberikan gambaran tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan.

a.                   Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma- paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme


yang posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektifitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.

b.                  Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.

c.                   Banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.

d.                  Karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria


objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.

3.4.5  Implementasi filsafat Pospositivisme

 

Dalam pendidikan Indonesia Pospositivisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide positivime. Post positivisme memiliki cita-cita, ingin meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial, kesadaran akan peristiwa sejarah dan perkembangan dalam bidang pendidikan. Filsafat Pospositivisme mengarahkan agar pendidikan tidak hanya dari kejadian atau hal-hal yang dapat dibuktikan secara empiris atau dapat dilihat melainkan menggabungkan antara yang dilihat dan dirasakan. Contoh: pendidikan berkarakter itu akan berjalan dengan baik dan memberikan dampak yang positip, dilihat bukan hanya dari materi dalam pembelajaran melainkan ada juga dari perilaku dari guru, keluarga, dan lingkungan serta emosi anak

3.4.5 Tokoh-tokoh postpositivisme

 

1.   Karl Popper


Memiliki nama lengkap Karl Raimund Popper, lahir di Vienna Austria pada tanggal 28 Juli 1902 yang berlatar belakang keluarga Yahudi Protestan. Kemudian beristirahat dengan tenang diusinya yang ke 92 tahun tepatnya di London Inggris pada tanggal 17 September 1994. Merupakan salah satu dari sekian banyak filsuf ilmu dan pakar dalam bidang psikologi belajar. Popper dikenal dengan gagasan falsifikasi- sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmu.[


Dalam pemikirannya mengenai prinsip metodologi ilmu yaitu dia menolak metode induksi yang kenyataannya bersifat valid. Menurut Popper, daripada bersusah payah mencari fakta-fakta membenarkan, ilmuwan lebih baik menggunakan waktunya untuk mencari fakta anomaly atau yang menyimpang. Misalkan pernyataan mengenai semua burung gagak berwarna hitam. Secara premis, pernyataan tersebut benar. Namun secara logis pernyataan tersebut salah, karena belum ada jaminan logis bahwa gagak yang diobservasi kemudian tidak ada yang berwana coklat atau putih. Jika hal ini terbukti mana kesimpulan semua gagak hitam itu salah.

Pandangan rasionalistis beranggapan bahwa suatu teori baru akan diterima kalau sudah terbukti bahwa ia dapat meruntuhkan teori lama yang ada sebelumnya. Pengujian teori tersebut menggunakan suatu tes empiris.

 

2.  Thomas khun


Nama lengkapnya adalah Thomas Samuel Khun, beliau lahir pada tanggal 18 Juli 1922 dan menghembuskan nafas terakhir diusianya yang ke 73 tahun tepatnya pada 17 Juni 1996. Dia seorang filusuf, fisikawan dan sejarawan Amerika Serikat. Kuhn mempercayai bahwa ilmu pengetahuan memiliki periode pengumpulan data dalam sebuah paradigma. Revolusi kemudian terjadi setelah sebuah paradigma menjadi dewasa. Paradigma mampu mengatasi penyimpangan, namun demikian ketika banyak penyimpangan-penyimpangan yang mengganggu yang mengancam acuan disiplin maka paradigm tidak bisa dipertahankan lagi. Ketika sebuah paradigma tidak dapat dipertahankan lagi, maka seorang ilmuan boleh berpindah ke paradigma baru. Ketika berada pada


periode pengumpulan data maka ilmu pengetahuan mengalami apa yang dikatakan perkembangan ilmu biasa. Dalam perkembangan ilmu biasa, sebuah ilmu pengetahuan mengalami perkembangan. Ketika paradigm mengalami pergeseran, maka itulah yang disebut dengan revolusioner. Ilmu dalam tahap biasa bisa dikatakan sebagai pengumpulan yang semakin banyak dari solusi Puzzle. Sedangkan pada tahap revolusi ilmiah terhadap revisi dari kepercayaan ilmiah atau praktek.

 

3.  5. EMPIRISME

 

3.5.1  Pengertian Empirisme

 

Beberapa pemahaman tentang pengertian empirisme cukup beragam, namun intinya adalah pengalaman.

Di antara pemahaman tersebut antara lain:

 

Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.

Empirisme    secara    etimologis    berasal     dari     kata     bahasa Inggris empiricism dan experience.Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) yang berarti pengalaman Sementara menurut A.R. Laceyberdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yangberpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkankepada pengalaman yang menggunakan indera.

Para penganut aliran empiris dalam berfilsafat bertolak belakang dengan para penganut aliran rasionalisme. Mereka menentang pendapat-pendapat para penganut rasionalisme yang didasarkan atas kepastian-kepastian yang bersifat


apriori. Menurut pendapat penganut empirisme, metode ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori tetapi posteriori, yaitu metode yang berdasarkan atas hal-hal yang datang, terjadinya atau adanya kemudian.

Bagi penganut empirisme sumber pengetahuan yang memadai itu adalah pengalaman. Yang dimaksud dengan pengalaman disini adalah pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman bathin yang menyangkut pribadi manusia. Sedangkan akal manusia hanya berfungsi dan bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan atau data yang diperoleh melalui pengalaman.

3.5.2  Ajaran-ajaran pokok Empirisme

 

a.  Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.

b.   Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.

c.   Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.

 

d.   Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).

e.     Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.

f.    Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.

3.5.3  Jenis-jenis Emperisme

 

1.         Empirio-Kritisisme


Disebut juga Machisme. Sebuah aliran filsafat yang bersifat subyaktif- idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara sembunyi- sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran ini juga anti metafisik.

2.         Empirisme Logis

 

Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-pandangan berikut:

a)         Ada batas-batas bagi Empirisme. Prinsip system logika formal dan prinsip kesimpulan induktif tidak dapat dibuktikan dengan mengacu pada pengalaman.

b)         Semua proposisi yang benar dapat dijabarkan (direduksikan) pada proposisi-proposisi mengenai data inderawi yang kurang lebih merupakan data indera yang ada seketika

c)        Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat kenyataan yang terdalam pada dasarnya tidak mengandung makna.

3.             Empiris Radikal

 

Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat dilacak secara demikian itu, dianggap bukan pengetahuan. Soal kemungkinan melawan kepastian atau masalah kekeliruan melawan kebenaran telah menimbulkan banyak pertentangan dalam filsafat. Ada pihak yang belum dapat menerima pernyataan bahwa penyelidikan empiris hanya dapa memberikan kepada kita suatu


pengetahuan yang belum pasti (Probable). Mereka mengatakan bahwa pernyataan- pernyataan empiris, dapat diterima sebagai pasti jika tidak ada kemungkinan untuk mengujinya lebih lanjut dan dengan begitu tak ada dasar untuk keraguan. Dalam situasi semacam ini, kita tidak hanya berkata: Aku merasa yakin (I feel certain), tetapi aku yakin. Kelompok falibisme akan menjawab bahwa: tak ada pernyataan empiris yang pasti karena terdapat sejumlah tak terbatas data inderawi untuk setiap benda, dan bukti-bukti tidak dapat ditimba sampai habis sama sekali.

Metode filsafat ini butuh dukungan metode filsafat lainnya supaya ia lebih berkembang secara ilmiah. Karena ada kelemahan-kelemahan yang hanya bisa ditutupi oleh metode filsafat lainnya. Perkawinan antara Rasionalisme dengan Empirisme ini dapat digambarkan dalam metode ilmiah dengan langkah-langkah berupa perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan.

3.5.4. Tokoh-tokoh Empirisme

 

Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke dan David Hume.

a. Jonh Locke (1673-1704)


Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris dan wafat tahun 1704 di Oates Inggris. Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan kedokteran. Pemikiran John termuat dalam tiga buku pentingnya yaitu essay concerning human understanding, terbit tahun 1600; letters on tolerantion terbit tahun 1689-1692; dan two treatises on government, terbit tahun 1690. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran


rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh melalui panca indera. Dengan ungkapan singkat Locke :

Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang masih putih, baru melalui pengalamanlah kertas itu terisi.

Dengan demikian dia menyamakan pengalaman batiniah (yang bersumber dari akal budi) dengan pengalaman lahiriah (yang bersumber dari empiri).

b. David Hume (1711-1776).


David Hume lahir di Edinburg Scotland tahun 1711 dan wafat tahun 1776 di kota yang sama. Hume seorang nyang menguasai hukum, sastra dan juga filsafat. Karya tepentingnya ialah an encuiry concercing humen understanding, terbit tahun 1748 dan an encuiry into the principles of moral yang terbit tahun 1751.

Pemikiran empirisnya terakumulasi dalam ungkapannya yang singkat

 

yaitu I never catch my self at any time with out a perception (saya selalu memiliki persepsi pada setiap pengalaman saya). Dari ungkapan ini Hume menyampaikan bahwa seluruh pemikiran dan pengalaman tersusun dari rangkaian-rangkaian kesan (impression). Pemikiran ini lebih maju selangkah dalam merumuskan bagaimana sesuatu pengetahuan terangkai dari pengalaman, yaitu melalui suatu institusi dalam diri manusia (impression, atau kesan yang disistematiskan ) dan kemudian menjadi pengetahuan. Di samping itu pemikiran Hume ini merupakan usaha analisias agar empirisme dapat di


rasionalkan teutama dalam pemunculan ilmu pengetahuan yang di dasarkan pada pengamatan “(observasi ) dan uji coba (eksperimentasi), kemudian menimbulkan kesan-kesan, kemudian pengertian-pengertian dan akhirnya pengetahuan.

Empirisme menganjurkan agar kita kembali kepada kenyataan yang sebenarnya (alam) untuk mendapatkan pengetahuan, karena kebenaran tidak ada secara apriori di benak kita melainkan harus diperoleh dari pengalaman. Melalui pandangannya, pengetahuan yang hanya dianggap valid adalah bentuk yang dihasilkan oleh fungsi pancaindra selain daripadanya adalah bukan kebenaran (baca omong kosong). Dan mereka berpendapat bahwa tidak dapat dibuat sebuah klaim (pengetahuan) atas perkara dibalik penampakan (noumena) baik melalui pengalaman faktual maupun prinsip-prinsip keniscayaan. Artinya dimensi pengetahuan hanya sebatas persentuhan alam dengan pancaindra, diluar perkara-perkara pengalaman yang dapat tercerap secara fisik adalah tidak valid dan tidak dapat diketahui dan tidak dianggap keabsahan sumbernya.

Usaha manusia untuk mencari pengetahuan yang bersifat, mutlak dan pasti telah berlangsung dengan penuh semangat dan terus-menerus. Walaupun begitu, paling tidak sejak zaman Aristoteles, terdapat tradisi epistemologi yang kuat untuk mendasarkan din kepada pengalaman manusia, dan meninggalkan cita-cita untuk mencari pengetahuan yang mutlak tersebut. Doktrin empirisme merupakan contoh dan tradisi ini. Kaum empiris berdalil bahwa adalah tidak beralasan untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita, terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk rneningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat namun lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistern pengetahuan yang rnempunyai peluang yang besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak takkan pernah dapat dijamin.


Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata “Tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Jika kita meng takan kepada dia bahwa ada seekor harimau di kamar mandinya, pertama dia minta kita untuk menceriterakan bagairnana kita sampai pada kesimpulan itu. Jika kemudian kita terangkan bahwa kita melihat harimau itu dalam kamar mandi, baru kaum empiris akan mau mendengar laporan mengenai pengalaman kita itu, namun dia hanya akan menerima hal tersebutjika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang kita ajukan, denganjalan melihat harimau itu dengan mata kepalanya sendiri.

Dua aspek dan teori empiris terdapat dalam contoh di atas tadi. Pertama adalah           perbedaan               antara            yang       mengetahui                dan    yang    diketahui.    Yang mengetahui adalah subyek dan benda yang diketahui adalah obyek. Terdapat alam nyata yang terdiri dan fakta atau obyek yang dapat ditangkap oleh seseorang. Kedua, kebenaran atau pengujian kebenaran dan fakta atau obyek didasarkan kepada pengalaman manusia. Agar berarti bagi kaum empiris, maka pernyataan tentang ada atau tidak adanya sesuatu haruslah memenuhi persyaratan pengujian publik.

3.5.5  KELEBIHAN DAN KELEMAHAN EMPIRISME

 

1.      Kelebihan empirime adalah pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang benar, karena faham empiris mengedepankan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.

2.    Sedangkan kelemahan empirisme cukup banyak Prof. Dr. Ahmad Tafsir mengkritisi empirisme atas empat kelemahan, sebagai berikut.


a.      Indra terbatas. Benda yang jauh kelihatan kecil. Apakah benda itu kecil benda itu kecil? Tidak. Keterbatasan kemampuan indera ini dapat melaporkan objek salah.

b.      Indera menipu. Pada orang yang sakit malaria, gulara rasanya pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.

c.      Objek yang menipu. Contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi, objek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia tangkap oleh alat indera; ia membihongi indera. Ini jleas dapat menimbulkan inderawi yang salah.

d.     Indera dan objek sekaligus. Dalam hal ini indera (di sini mata) tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan kerbau itu juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan. Jika melihatnya dari depan, yang kelihatan adalah kepala kerbau, dan kerbau pada saat itu memang tidak mampu sekaligus memperlihatkan ekornya. Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia.

 

3.5.6  Implementasi bagi Perkembangan Studi Keilmuan

 

Empirisme memiliki andil yang besar dalam ilmu, yaitu dalam pengembangan berpikir induktif. Dalam ilmu pengetahuan, sumbangan utama adalah lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penerapan metode ilmiah untuk membangun pengetahuan. Selain daripada itu, tradisi empirisme adalah fundamen yang mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam konteks perdebatan apakah ilmu pengetahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam. Sejak saat itu empirisme menempati tempat yang terhormat dalam metodologi ilmu pengertahuan sosial. Acapkali empirisme di paralelkan dengan tradisi positivisme. Namun demikian keduanya mewakili pemikiran filsafat ilmu yang berbeda. Sedangkan dalam Islam, Empirisme dalam Islam mempunyai peran


penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan seperti ilmu Fiqh yang bebasis empiris, yaitu (ibadah mumalah), shalat, zakat, puasa, dan haji. Empirisme lahir dan terjebak kepada afirmasi rasio praksis dan menegasikan rasio murni sehingga muncul dogmatisme empiris sendiri, terlebih dengan membangun kecurigaan/ ketidakpercayaan/ menegasikan (skeptisis) terhadap epistema yang lainnya telah banyak dianut oleh pendidikan modern, inilah bukti kenaifannya.

Dampak epistemologis dari empirisme diantaranya adalah sebagai berikut:

 

1.  Terjadinya pemisahan antara bidang sankral dan bidang duniawi, misalnya pemisahan antara agama dan negara, agama dan politik, atau pemisahan materi dan ruh yang terwujud dalam seorang ahli fisika atau ekonomi tidak akan berbicara agama dalam karya ilmiah mereka, sementara fisika dan ekonomi direduksi menjadi angka-angka, materi dan ruh tampak tidak kompatebel di mata mereka.

2.   Kecendrungan kearah reduksionisme, materi dan benda direduksi kepada element-elemennya. Ini tampak pada fisika Newton, sama halnya dengan homo ekonomi-kus dalam ekonomi modern. (dua hal ini pengaruh sejarah rasionalisme empirisme).

3.  Pemisahan antara subyektivitas dan obyektifitas, misalnya dalam ilmu sosial hal yang merupakan debuku obyektif adalalah keniscayaan yang mengarah kepada relitas pasti, (pengaruh positivisme pengetahuan yang berujung pada statusquo hinggga dominasi kebenaran).

4.   Antroposentrisme, ini tampak dalam dalam konsep demokrasi dan individualisme (ini merupakan pengaruh dari rasionalisme Rendescartes dengan jargon individu bebas atau subyek manusia akan menjadi sentral peradaban dunia).

5.         Progresivisme, progresivisme diwakili oleh Marx, tetapi juga diyakini secara luas seperti pada kemajuan ilmu pengetahuan dan obat-obatan.


BAB IV PENUTUP

 

 

4.1 Kesimpulan

 

Munculnya filsafat pertama kali ternyata bukanlah dari Yunani. Berdasarkan pelacakan sejarah para ilmuwan ternyata filsafat Yunanipun dipengaruhi oleh kebudayaan agama-gama yang berasal dari dunia Timur, terutama dari Mesir, Babilonia, Mesopotamia. Selain itu, di bagian dunia lainnya juga berkembang filsafat, seperti di India dan Cina.

Filsafat ilmu dengan berbagai macam paradigmanya merupakan sejarah jalan menuju perkembangan ilmu pengetahuan di masa kini. Pandangan konstruktif dibutuhkan untuk mengembangkan ilmu dan pengetahuan dengan metode apapun asalkan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam dunia Islam, paradigma konstruktivisme merupakan tradisi pemikiran Islam sejak kemunculan Islam itu sendiri.

Idealisme menganggap, bahwa yang konkret hanyalah bayang-bayang, yang terdapat dalam akal pikiran manusia. Kaum idealisme sering menyebutnya dengan ide atau gagasan. Seorang realisme tidak menyetujui pandangan tersebut. Kaum realisme berpendapat bahwa yang ada itu adalah yang nyata, riil, empiris, bisa dipegang, bisa diamati dan lain-lain. Dengan kata lain sesuatu yang nyata adalah sesuatu yang bisa diindrakan (bisa diterima oleh panca indra).

Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.

Dalam paham empirisme, pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan, baik pengalaman lahiriyah yang menyangkut dunia maupun


pengalaman batiniyah yang menyangkut pribadi manusia. Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman atauempiri melalui alat indera. Paham empirisme ini dipertentangkan dengan paham rasionalisme yang mengatakan akal (rasio) sebagai sumber pengetahuan.

Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan- kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti).


DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), 182

Juhaya S. Praja, Prof., Dr. 2003. Aliran-aliran Filsafat dan Etika Prenada Media: Jakarta

Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Fislasat Umum, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2003, hal.144.

Waris, Filsafat Umum (Ponorogo: Stain Po Press, 2009), http://nuramaliyahramadhanyamelfadiliam.blogspot.co.id/2017/01/aliran

empirisme-dalam-pendidikan.html ( diakses 11 April 2018)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar